Tuesday, November 29, 2011

Anak Perempuanku Suka Pakai Kaos Singlet!!


“Putri semata wayangku Mona (7 tahun) kalau di rumah senangnya cuma pakai kaos singlet dan celana dalam. Bahkan tak jarang hanya pakai celana dalam saja. Apalagi kalau baru pulang dari sekolah, bukannya berganti dengan baju santai untuk di rumah, dia tetap dengan kostum kesukaannya tersebut. 

Saya menyebutnya ala Tarzan!” keluh Grace, seorang ibu muda berusia 29 tahun. “Sudah sering saya ingatkan, kalau pakai baju yang benar. Tapi tetap saja Mona cuek. 

Memang sejak kecil Mona biasa pakai kaos singlet dan celana dalam saja kalau di rumah. Dulu saya fikir, Mona gerah jadi saya biarkan saja. Tapi siapa sangka dia membawa kebiasaan itu hingga sekarang duduk di kelas 2 SD. Yang saya takutkan adalah jika hal ini nantinya terbawa sampai ia besar,” keluh perempuan yang berprofesi sebagai marketing communication ini panjang lebar. 

Thursday, November 10, 2011

Ayah pun Bisa Baby Blues!

Ibu baru (new mom) terkena baby blues syndrome? Terdengar sangat familiar! Apalagi fakta menunjukkan hampir 50 persen ibu baru mengalaminya. 

Munculnya perasaan tidak mampu, sedih, tidak berarti, dan perasaan tidak karuan lainnya itu umumnya terjadi dalam 14 hari pertama pascamelahirkan dan cenderung memburuk berkisar hari ketiga atau keempat. Lalu bagaimana dengan ayah baru? Mungkinkah mereka juga mengalami baby blues?

Tuesday, November 8, 2011

True Story - Spina Bifida Melumpuhkan Anakku

Kurniah, AMK (35) 
Ibu dari Fikriyyatun Nabila (10), Aliifah Fatin Haniifah (7), dan Septian Afif Luqman (5)

10 tahun silam, Kurniah baru saja menamatkan akademi keperawatannya di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Saat itu, tak pernah terbesit sedikit pun kalau satu hari nanti ilmunya justru akan sangat terpakai untuk orang terdekatnya. 

Cita-cita Menjadi Perawat
Profesi perawat memang telah menjadi cita-citaku sejak kecil. Di keluarga besar kami, banyak yang menekuni profesi tenaga medis. Kakak sepupuku seorang perawat di sebuah RS militer. Kakakku yang laki-laki, tenaga analis laboratorium, juga di sebuah RS militer. Begitu pula istrinya yang bekerja sebagai perawat pada RS swasta di Jakarta Selatan.

True Story - Hidup Anakku Bergantung Darah Orang Lain

Kalimatul Aulia, Ayah dari Dua Orang Anak Penderita Thalassemia

Perlahan sang surya mulai tenggelam ketika sekumpulan bocah masih asyik bermain bola di sebuah lapangan milik salah satu sekolah menengah atas di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Muhammad Irfan (9) terlihat paling gesit mengejar bola, berlomba menggiring ke gawang lawan. Peluhnya bercucuran, kaus yang dikenakannya tampak lepek.
Melihat kegesitannya menggocek bola, siapa sangka bocah berwajah sendu itu tengah membangun asa, berharap masih banyak waktu tersisa untuknya.
Bagi sang Ayah, Kalimatul Aulia (39), tak tega rasanya kalau harus merenggut kebahagiaan Irfan saat bermain bola. Padahal, dengan penyakit yang dideritanya, Irfan tidak boleh terlalu lelah agar tubuhnya tidak drop.
Tapi apa mau dikata, tak mungkin juga menahan Irfan di rumah sementara ia hanya memandang iri teman-teman seusianya asyik bermain di luar. Pada akhirnya Aulia melepas Irfan untuk bermain sambil terus memantau dari kejauhan.
Sementara di pinggir lapangan, Dewi Sarah (3) adik Irfan, menggelayut manja dalam dekapan sang ibu Siti Umayah (33) sambil menonton kakaknya beraksi. Irfan dan Dewi, dua bocah pengidap Thalassemia, melalui hari-harinya dengan bantuan darah donor agar bisa tetap bertahan hidup.
Bahkan Irfan kerap diledek teman-temannya dengan sebutan “drakula”. Ya, setiap bulan Irfan dan Dewi harus menjalani transfusi darah di Pusat Thalassemia RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Mau tidak mau, suka tidak suka, seumur hidup dua bocah tersebut harus merelakan jarum selang infus menusuk kulit mereka demi mengantarkan darah ke dalam tubuh.
Kalimatul Aulia bersama keluarga


Thalassemia?
Masih lekat diingatanku, saat itu Irfan baru berumur 3 tahun. Mendadak kulitnya kuning, tidak mau makan, perut terlihat buncit, suhu tubuhnya panas, dan pipis tidak berhenti-berhenti. 
Baru selesai pipis, ganti celana, pipis lagi. Begitu terus sepanjang malam. Paginya, langsung kubawa Irfan ke Puskesmas Kalideres. Empat kali bolak balik ke Puskesmas, kondisi Irfan tak kunjung membaik. 
Akhirnya Puskesmas merujuk Irfan ke RSUPN Cipto Mangunkusumo. Aku kalut. Sebelumnya kondisi Irfan baik-baik saja dan sama sekali tidak pernah seperti ini.
Setelah diperiksa dengan seksama akhirnya diketahui kalau putraku satu-satunya itu Hb-nya rendah sekali (< 5 g/dL) dan menderita Thalassemia.
Foto: anakku.net

Transfusi Darah
Penyakit apa itu? Istilah yang begitu asing di telingaku. Secara sederhana Dokter menjelaskan kalau Irfan memiliki sejenis penyakit kelainan darah yang disebut dengan istilah Thalassemia Mayor. 
Kalutku semakin menjadi-jadi. Kok bisa? Siapa yang menurunkan penyakit itu? Aku? Istriku? Entahlah! Sempat kumenyalahkan istri dengan kondisi Irfan. Aku bingung Tuhan, siapa yang harus dipersalahkan? 

Anak pertamaku, Istilnatul Awaliyah (12) sejak lahir hingga besar kondisinya normal. Tapi mengapa Irfan bisa begini?
Waktu membawa Irfan ke Cipto, aku sama sekali tidak membawa uang lebih karena aku tidak sampai berpikir kalau anakku itu menderita penyakit berat hingga harus diopname. Pontang-panting kucari pinjaman dana. Apalagi, pengasilanku sehari-hari dari mengojek tidaklah seberapa. Selama Irfan diopname, dua hari kuurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) demi mendapat keringanan biaya. 
Sejak itu, kehidupan kami berubah! Setiap bulan, Irfan harus menjalani transfusi darah guna mendongkrak Hb-nya. Hingga saat ini total sudah 5 tahun Irfan bolak-balik ke Cipto tiap bulan. Bahkan kalau hb-nya sangat rendah, ia bisa sampai 4 hari ditransfusi.

Memakan Biaya Besar
Pengobatan Irfan tak sedikit memakan biaya. Hingga usaha kecil-kecilan yaitu penyewaan Play Station harus kujual demi membiayai Irfan berobat. Aku pun tak lagi kuat membayar kontrakan dan kembali tinggal bersama orangtuaku. Setiap transfusi harus membayar sejumlah Rp 200.000 tapi karena aku sudah mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), biayanya menjadi separuh harga. 
Belum lagi Irfan juga diharuskan minum obat setiap hari. Harga obatnya pun tergolong mahal, berkisar Rp 1,5 juta untuk 1 bulan. Lagi-lagi aku tertolong dengan kartu SKTM. Setiap rupiah yang aku dan istriku kumpulkan, semata-mata kami utamakan demi kelangsungan hidup Irfan. Kalau Hb-nya mulai turun, Irfan pasti mengeluh kepalanya terasa pusing. Beberapa kali ia bolos sekolah. “Irfan pusing Ayah, nggak kuat baca buku, nggak bisa nulis,” begitu selalu keluhnya.

Jangankan untuk membaca dan menulis, untuk beraktivitas seperti biasa saja ia sulit. Hingga akhirnya Irfan tak lagi mau berangkat sekolah. Sepertinya ia terlalu lelah dengan beban pelajaran yang ia ikuti. Sedih, tapi aku tidak bisa memaksa. Alhasil di sela-sela aku dan istri giat mencari uang, Irfan pun kami ajarkan sendiri di rumah.

Cobaan Kembali Datang
15 Juni 2008 lahir anak ketiga kami, Dewi Sarah. Kami hanya berdoa, semoga si bungsu sehat. Manusia boleh berharap, tapi Tuhan jua yang menentukan. Satu tahun usia Dewi, tiba-tiba ia mengalami hal yang sama seperti dialami Irfan dulu. Ya Allah, jangan lagi ya Allah. Apa mau dikata, Dewi didiagnosis menderita Thalassemia Minor. Meski tidak seberat Irfan, tetap saja Dewi juga harus menjalani tranfusi darah. Bahkan dengan usia yang jauh lebih dini dibanding saat Irfan dulu. 
Tak tega rasanya aku kala menyaksikan Dewi meneteskan airmata menahan sakit saat disuntikkan jarum infus ke tangannya. Sempat terbersit prasangka dalam benakku, apakah karena dulu pernikahanku tidak direstui oleh kedua orangtua hingga harus menerima hukuman seperti ini. Dua anakku Thalassemi? 

Coba dulu kuikuti apa kata orangtua, mungkin tidak akan begini jadinya. Kembali kusalahkan istriku. Sementara ia hanya pasrah, menerima saja saat kusalah-salahkan dia. Membuatku bersalah dan semakin kalut. Ya Allah, cobaan apalagi yang Engkau berikan pada hambaMu yang lemah ini?

Pengobatan Alternatif
Di tengah keputusasaanku, seorang kerabat mengusulkan pengobatan alternatif dengan jalan menemui salah satu orang ‘pintar’. Ia akan membaluri Irfan dengan pasir dari kawah gunung Tangkuban Perahu.

Percaya tidak percaya, siapa tahu berhasil pikirku. Kuikuti usul kerabatku itu. Sampai kutemui kuncen Tangkuban Perahu dan diantarnya aku hingga ke dasar kawah tanpa memikirkan keselamatanku sendiri. Dari sana kudapatkan satu stoples penuh pasir seperti yang diminta si orang pintar. Jadilah kemudian Irfan dibaluri pasir dari kawah gunung Tangkuban Perahu. Hasilnya? NOL!

Dari situ aku tersadar, bahwa sudah betul pengobatan secara medis yang kami jalani selama ini. Pengobatan alternatif ini justru semakin menguras tabungan kami yang tidak seberapa. Yang kami sisihkan setiap hari dari setiap butir keringat kami demi pengobatan Irfan dan Dewi.

Pengobatan Gratis
Bahkan kini Irfan tak cuma sebulan sekali transfusi. Dalam kurun waktu dua minggu Irfan bisa drop Hb-nya dan kembali menjalani transfusi. Aku yang tidak merasakan seperti apa sakitnya saja sudah lelah sekali, bagaimana Irfan dan Dewi?

Kadang aku merasa miris saat Irfan mengeluh capek ditransfusi terus. Bosan minum obat terus. Tapi selalu kukuatkan lagi semangat hidupnya untuk tetap terus berobat. Pernah satu kali kami tunda pengobatan Irfan. Yang biasanya sebulan sekali transfusi, ini kami tunda hingga dua bulan. Sungguh besar penyesalanku di kemudian hari.

Irfan langsung drop, Hb-nya cuma 1,2 dan harus masuk ICU. Itulah kondisi terparah Irfan. Biaya yang dikeluarkan pun semakin membengkak yaitu sebanyak Rp 8 juta. Apapun barang tersisa yang kami miliki kami jual. Saat itu belum ada program pengobatan gratis bagi pasien Thalassemia.

Sering kudengar kalau orang terkena penyakit Thalassemia walaupun dia orang berada pasti akan habis juga karena membutuhkan biaya sangat banyak. Selama hampir 5 tahun kami membiayai sendiri pengobatan anak-anak, akhirnya kami mendapatkan kartu berobat dari Yayasan Thalassemia Indonesia. Syukurlah sekarang pengobatan itu menjadi ringan dengan adanya kartu hijau Jamkestal (Jaminan Kesehatan Thallasemia). Dengan memiliki kartu tersebut, Irfan dan Dewi mendapatkan pengobatan gratis yang sudah disubsidi pemerintah.

Si Adik, Lebih Tegar
Lucunya, kalau si Kakak mulai lelah dan bosan untuk berobat, si Adik justru lebih tegar menjalani pengobatannya. Memang ia suka menangis kalau perawat tidak tepat saat memasukkan jarum ke kulitnya untuk transfusi. Yang kadang membuatnya trauma melihat jarum.

Tapi lama kelamaan Dewi - mungkin karena sudah dia alami sejak usia 1 tahun - pun kini menjadi biasa. Untuk minum obat Dewi juga lebih bisa menerima dibanding Irfan. Untuk anak seusia Dewi, menelan obat pahit setiap hari tentu bukan persoalan mudah. Tapi tidak dengannya. Bahkan terkadang Dewi minta sendiri untuk minum obatnya.

Begitu juga dengan masalah sekolah. Kalau Irfan mengeluh tidak kuat lagi dengan beban pelajaran di sekolahnya, si kecil Dewi walaupun masih tiga tahun bawaannya sudah pengin sekolah terus. Hampir setiap hari ia membawa-bawa tas layaknya mau ke sekolah.

Melihat semangat si kecil Dewi seolah menyadarkanku, bahwa aku masih bisa membangun banyak harapan untuk mereka. Bahwa mereka masih bisa meraih impian mereka seperti anak-anak lain.

Kini aku sudah lebih bisa menerima kondisi mereka dan tiada muluk harapanku. Asalkan mereka bisa hidup sehat, aku akan terus berjuang demi kelangsungan hidup mereka. Tak muluk-muluk mimpiku. Aku ingin mereka bisa menikmati masa kanak-kanak mereka, melalui masa remaja, hingga mudah-mudahan masih diberi umur untuk masa dewasa mereka kelak.

Dimuat di Tabloid Mom&Kiddie/2011

True Story - 12 Tahun 'Kosong', Saat Hamil Langsung Kembar

Adeline Monike (36)
Student Recruitment & Business Development Senior Manager UPH
Ibu dari Dionysius Devendra Sanusi (1 bulan) dan Calliope Chiara Sanusi (1 bulan)
“Penantian 12 tahun itu berujung dengan kelahiran si kembar”

“Kudamba satu, justru kudapat dua. Sungguh, indah rancanganMu jauh melampaui harapanku dan dia. Kecewa dan air mata, kini berganti tawa bahagia. Terimakasih Tuhan tak terhingga...” Adeline Monike

8 Juni 2011, 06.45 pagi, anugrah itu datang. Pecah tangis putri dan pangeran mungilku bersamaan dengan senyum bahagiaku dan Edward.

Lebih dari satu dekade kami menanti. Dua belas tahun, bukan waktu singkat! Selama perjalanan pernikahan, inilah momen yang kami tunggu-tunggu: kehadiran anak di tengah keluarga. Bahagia tak terkatakan lagi. Tiada yang sia-sia dari segala usaha, kerja keras, dan doa yang tak pernah putus.

Menikah Muda
Bila kilas balik, rasanya rancangan hidupku mendekati sempurna. Aku berpendidikan, memiliki karir baik, dan menikah dengan lelaki yang kucintai.
Edward, kukenal ketika sama-sama kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Di situlah cinta kami bersemi. Tahun 1999, kami menikah. Umurku terbilang muda, 24 tahun. 
Tahun pertama pernikahan, kami hanya merasakan keindahan. Sama sekali tak terpikir akan kehadiran anak. Apalagi kala itu kami punya tanggungjawab masing-masing. Aku harus merampungkan kuliah S2 ku di Prasetiya Mulya – Jakarta, sementara Edward sedang menapaki karirnya. 
Waktu berjalan. Aku lulus kuliah dan bekerja. Usia pernikahan pun menginjak angka ketiga. Saat itulah gairah memiliki anak muncul, jauh lebih kuat dari tahun sebelumnya. Aku mulai membayangkan hal yang belum ada. Seorang anak yang menangis, merengek, merajuk, marah, tertawa dan memelukku serta memanggil “Mama”. Ah, itulah saat dimana hidupku bisa dibilang sempurna!

Usaha Pertama, Tak Berbuah
Berdua Edward, yang juga merasakan hal sama, kami memulai ‘perjalanan’. Tak pernah kusangka akan demikian panjang. Diawali dari sebuah rumah sakit di Karawaci, tak jauh dari tempat tinggal kami di Alam Sutra, Tangerang Selatan, ‘pencarian’ dimulai. Aku dan Edward lalu bertemu ginekolog, berkenalan dengan dua obat keras yang katanya untuk hormon. Satu membuatku pusing sedangkan yang lain bikin liver Edward nggak enak. Sayangnya, kami tidak intens melakukan pemeriksaan, on and off. Kadang periksa, kadang tidak.

30 = Gelisah
Hingga jelang usia 30, aku belum juga hamil. Rasa was-was tanpa kucegah sering hinggap. “Gawat, aku belum juga punya anak...” batinku resah. Apalagi usia pernikahanku sudah 5 tahun, apalagi yang kutunggu? Walau tak ada desakan dari keluarga, tetap saja aku risau.
Kegalauanku ditanggapi teman-teman baikku. Mulai dari dokter ahli hingga jalur alternatif mereka sodorkan. Walau tak mudah, aku dan Edward berkomitmen mulai lagi dari awal. Dari berbagai rekomendasi, akhirnya kami pilih seorang dokter kandungan terkenal. 
Tapi lagi-lagi, aku tak terpuaskan. Antrian demikian panjang, rasanya tak terbayar. Bayangkan, dijadwalkan bertemu antara jam 9-10 malam, tapi baru bisa masuk antara jam 11-12 malam. Itupun tidak sampai LIMA menit!
Jujur, aku kecewa. Rasanya segala pertanyaanku tak terjawab. Lima menit! Apa yang bisa diharapkan? Kami hanya diberi obat, tanpa konsultasi maksimal. Hhh, cukup dua kali aku periksa di sana!

Cobaan Itu...
Tak putus menyerah, kami mencoba berbagai tempat. Keluar masuk rumah sakit, dari ujung Jakarta ke ujung lain. Melalui serangkaian pemeriksaan, akhirkan diputuskan Edward harus menjalani operasi varikokel. Itu dilakukan atas rekomendasi seorang urolog di satu RS di Jakarta Utara.

Walau membantu, peristiwa itu menimbulkan rasa traumatik bagiku. Pasalnya Edward sempat mengalami henti napas beberapa menit akibat selang pernapasan terlalu cepat ditarik. Oh, Nak, tak terbayangkan betapa naik turun perasaanku. Walau pahit, tak cukup kuat membuatku dan Edward angkat tangan. Kami begitu menginginkanmu...

Dari Jakarta Hingga Singapura
Berbekal tekad itu, kami berjuang lagi. Rumah sakit dan ginekolog masih menjadi “sahabat” setia. Kami menjalani terapi antibodi di RS Jakarta Pusat. Hingga memutuskan melakukan inseminasi di RS bilangan Jakarta Selatan. Pasalnya dokter di sana menemukan bahwa aku menderita PCO (PCO (Polycystic Ovaries Syndrome). Kata dokter, aku mengalami ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan sulit hamil. Oh, apa lagi ini? 
Walau tak begitu paham, saran dokter kami jalankan sepenuh hati. Mungkin Tuhan belum berkehendak, program inseminasi itu gagal juga.
Saking ingin mencari second opinion, kami bahkan sempat melakukan check up dan konsultasi dengan dokter senior di National University Hospital, Singapura. Tapi rupanya, nasihat dan protokol yang dianjurkan sama seperti para dokter di Indonesia. 
Karena sudah tahu masalahnya, aku masih berharap PCO-ku bisa diatasi dengan terapi. Apalagi kata dokter ada kemungkinan untuk itu. Untuk itu, bukan hanya medis, jalur alternatif pun kujabani. Kudatangi shinshe di Glodok yang memberikan obat luar biasa pahit, refleksi di Gading Serpong yang sakitnya minta ampun, akupuntur, hingga konsultasi radiestesi di Bumi Serpong Damai (Radiestesi, red: metoda untuk menentukan radiasi medis, guna mendeteksi penyebab penyakit dan menemukan pengobatan yang tepat). Tempat terakhir yang kusebut antrian mulai dari jam 05.00 pagi. Intinya, dimana tempat yang orang bilang bagus, kami meluncur ke sana.

Mencoba Bayi Tabung
Seperti sudah diatur olehNya, akhirnya kami dipertemukan dengan Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG dari Bunda International Clinic (BIC). Juga, pasangan dr. Edwin dan Lala yang membuka praktik radiestesi di Tajur, Bogor. Dengan demikian aku menjalani upaya medis, juga alternatif. Keduanya sangat komunikatif, hingga membuatku nyaman.
Sama seperti ginekolog sebelumnya, dr. Ivan juga mendiagnosa bahwa aku menderita PCO. Berbagai pilihan terapi dan strategi dijabarkan panjang lebar. Aku dan Edward merasa nyaman, dan memutuskan untuk percaya 100 persen!
Akhirnya tibalah saat itu, tahun 2009, kami mencoba program bayi tabung. Sekali protocol, memakan sekitar 50 Juta. Bukan biaya murah, tapi syukurlah masih bisa kami penuhi. 
Upaya bayi tabung pertama, dengan long protocol. Dan, berhasil! Namun sayangnya di luar kandungan (ectopic pregnancy), sehingga harus diangkat.
Ugh, sedih sekali. Kebahagiaan yang hampir kami rengkuh, lepas lagi. Tapi tak seperti sebelumnya, kali ini aku dan Edward tak beralih ke tempat lain. Inilah saatnya: kami harus percaya pada ahlinya, dan menyerahkan sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa.

Kali ke-4, Berhasil!
Tak putus harapan, kami mencoba lagi dengan strategi berbeda. Kali ini dengan short protocol, gagal. Ketiga kalinya, kembali ke long protocol dengan penambahan satu strategi, juga gagal! Sempat putus asa? Nyaris! Tapi kami saling menguatkan. Siapa lagi kalau bukan kami berdua? Hatiku optimis mengatakan, sebentar lagi, sebentar lagi! Itu memotivasiku untuk terus mencoba.
Akhirnya kami mencoba lagi, long protocol. Tindakan persis dilakukan bertepatan dengan ulangtahun Edward ke-37. Saat itu diputuskan transfer embrio dilakukan di state blastocyst (dibiarkan hidup di luar lebih lama sebelum ditransfer).
Saat kembali dua minggu kemudian, aku sempat kecewa karena tes urin negatif. Oh, betapa aku terpuruk lagi, juga suamiku. Sepanjang perjalanan pulang aku diam, berjibaku dengan pikiranku sendiri. “Tidak, jangan lagi!” hatiku berteriak nyeri.

Kabar Bahagia Itu Datang
Tuhan memang Maha Baik. Saat aku sibuk menata hatiku yang kacau, Dia menenangkanku sedemikian cepatnya. Sore harinya, aku dikabari bahwa tes darah ternyata positif. Oh, harapan kembali membuncah! Betapa senangnya, sungguh proses unik yang tak mampu dicerna pikiran manusiaku.
Kebahagiaanku semakin lengkap, ketika dua minggu kemudian kami dikonfirmasi bahwa janin di dalam kandungan terdeteksi. Dan... kembar! Oh, Tuhan, kali ini aku benar-benar hamil, aku hamil! Aku dan Edward berpandangan, serasa tak menginjak dunia. Kucubit lenganku, kulihat binar di mata suamiku... Monike, ini nyata!

My Friends: Never Give Up
Dua malaikat kecilku lahir sudah. Melihat mereka, terbayarkan semua usaha aku dan Edward: waktu, pikiran, biaya, tenaga, juga air mata!
Aku hanya bisa mengatakan bagi pasangan lain di luar sana, carilah dokter atau terapis yang cocok. Bagi kami, komunikasi dua arah sangat penting. Kami tidak suka dijejali obat dan tindakan tanpa tahu tujuan dan strateginya. Tanyakan pada mereka berapa lama harus menunggu sampai ada indikasi sukses.
Terlepas dari hal itu, apa pun usaha manusia, Tuhan yang menentukan. Diberi olehNya, adalah karunia. Tidak diberi, bukan akhir dunia. n

Edward Sanusi (37), Deputy Director – System Network Engineer First Media, Suami
Tuhan punya rancangan khusus untukku dan Monike

Periode menunggu dari transfer embrio hingga kabar kehamilan selalu tidak enak. Harap-harap cemas. Hari ‘penentuan’ itu benar-benar seperti roller coaster. Amat dramatis.

Masih lekat di ingatan saya, ada dua tes kehamilan yang dilakukan pagi itu, yaitu tes urin dan tes darah. Hasil tes urin diperoleh lebih awal, negatif! Kabar itu sungguh tak enak dan memukul. Namun sore harinya terjadi kejutan membahagiakan. Hasil tes darah keluar dan...positif!! Tak terbayangkan perasaan senangnya saya saat itu.

Senang Bercampur Cemas
Monike yang pertama kali mengabari. Kebetulan hari itu saya tengah dalam perjalanan tugas. Ketika mendengar Monike hamil, senangnya bukan kepalang dan bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan ini.

Meski demikian, rasa cemas sempat juga membayangi karena kabar ini bukan yang pertama pernah kami dapatkan. Aku ingat bagaimana pada bayi tabung pertama, hasilnya pun positif, namun tumbuh di luar kandungan. Oleh karena itu, kami pun tidak langsung larut dalam perasaan senang. Kami berdoa memohon agar janin tersebut bisa berkembang dengan baik.

“This is it”
Ketika diketahui kalau janin yang dikandung Monike adalah kembar, ini juga sebetulnya paling membahagiakan. Mengingat di kesempatan sebelumnya walaupun hasil tes kehamilan positif, janin tidak terdeteksi sewaktu periksa ke dokter. Namun kali ini berbeda. Kami, dan saya rasa juga dokter Ivan, benar-benar merasa “This is it!” 

Penantian panjang kami akhirnya berujung pada diberinya suatu karunia besar oleh Tuhan. Kami amat bahagia bisa mendapatkan kesempatan itu, walau masih panjang perjalanan bagi janin tersebut hingga lahir ke dunia. Tapi kini, mereka benar-benar sudah lahir!

Rencana Tuhan
Saya percaya Tuhan punya rencananya sendiri. Walau kami baru memiliki anak di tahun ke-12 usia pernikahan, ini hanya membuktikan bahwa aku dan Monike memiliki pondasi kuat. Kami selalu berusaha bersama.

Sebagai suami saya juga setuju memeriksakan diri ke dokter. Percayalah, ini tak mudah. Pada banyak kasus, pria enggan melakukannya. Setelah itu, berbagai terapi pun saya jalankan, berdua dengan istri. Bagi saya, peran suami amatlah besar dalam upaya kehamilan ini. Bukan hanya dari sisi medis tapi juga mengupayakan pola hidup sehat. Juga dukungan secara moril mengingat pola pikir tradisional acapkali menempatkan tanggung jawab kehamilan di pihak istri. Desakan keluarga, pertanyaan dari kiri kanan, kesedihan saat mendengar kehamilan dari teman-teman seumur, bukanlah beban yang mudah ditanggung oleh istri. Di sinilah pentingnya peran suami untuk memberikan semangat dan pikiran positif.
Memang banyak pihak yang menganjurkan kami untuk adopsi. Namun, alasan kami memiliki keturunan bukanlah sekadar hadirnya seorang anak dalam keluarga. Secara personal, saya juga ingin meneruskan eksistensi gen saya di dunia dan melihat perpaduannya dengan gen istri saya. 

Banyak yang menertawakan hal ini, tapi bagi saya itu bagian dari tujuan makhluk hidup di dunia ini. Sayangnya, ini tak bisa dijawab dengan adopsi. Kini, saya telah memiliki Devendra dan Chiara. Tugas kami selanjutnya, mempersiapkan buah hati kami itu untuk mengisi hidup dengan bijaksana. Semoga.

Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, Bunda International Clinic Jakarta
Berusaha Memahami Sisi Psikologis Pasien

Sore itu saat berusaha menemui Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, di Bunda International Clinic Jakarta, sudah tampak ramai beberapa pasangan yang menjadi pasiennya. Dokter spesialis infertilitas ini sudah 15 tahun menangani banyak kasus pasangan yang lama belum mendapat momongan. 10 tahun ia berpraktik di Australia dan sejak tahun 2000 sudah menangani program bayi tabung.
Dr. Ivan R. Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, SpOG, di ruang praktiknya
“Ini bukan hanya masalah ngasih obat lalu jadi hamil. Kita sebagai dokter juga harus menangani secara empati. Harus tahu bagaimana perasaan pasien, secara psikologis juga. Kita harus bisa lebih berdiskusi sama pasien,” buka Dr. Ivan saat ditanya metoda apa saja yang ia berikan sehingga banyak pasiennya yang berhasil hamil.

Bahkan Dokter ramah itu bercerita, selalu menyediakan sekotak tisu untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba pasiennya menangis saat berkonsultasi. “Datanglah ke dokter yang dapat memberikan banyak informasi secara jelas! Karena itu hak pasien,” sarannya.

Saking begitu terikatnya dengan pasien, satu kali ia pernah menangani kasus pasien yang 17 tahun tidak punya anak. Begitu si pasien melahirkan, ia pun sampai ikut menitikan air mata haru.
Dr. Ivan lalu membagi saran untuk pasangan yang sedang mengusahakan anak:
  • Lebih dari dua tahun, idealnya pasangan memeriksakan diri. Umumnya ada beberapa tes yang harus melibatkan baik suami atau istri. “Jadi tidak bisa hanya istrinya saja atau sebaliknya. Harus dua-duanya!” urai Vice President Director PT. Bundamedik ini.
  • Rajinlah memeriksakan diri untuk mengetahui apa penyebab tidak hamil. Mungkin ada beberapa kondisi – medis atau psikologis – yang menyebabkan sulit hamil. 
  • Kalau sudah di atas 35 tahun, jangan menunggu lama-lama lagi. Segeralah berobat! 
  • Jalani gaya hidup sehat. “Over weight, makan tidak teratur, akan berpengaruh pada kacaunya siklus. Bukan tidak mungkin, mungkin saja hamil akan tetapi peluangnya bisa lebih kecil,” tekan dr. Ivan menutup perbincangan.
Dimuat di: Tabloid Mom&Kiddie/2011

True Story - Tuna Netra Pertama Raih Doktor Bidang Hukum


DR. Saharuddin Daming, SH, MH, Komisioner Komnas HAM
Kebutaan, Bukan Akhir dari Kesuksesan

Meski tunanetra, Saharuddin Daming tak pernah kenal kata menyerah terhadap kondisi kebutaannya. Baginya, sebagai manusia harus selalu siap untuk berhadapan dengan tantangan dan percaya bahwa Tuhan tak pernah tidur. “Asal kita mau berjuang, insya Allah Tuhan akan selalu memberi jalan. Kapan kita sampai di ujungnya, semua hanya persoalan waktu,” begitu selalu yakinnya.

Pak Daming, begitu ia sehari-hari disapa di lingkungan ia bekerja sebagai Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dia adalah satu-satunya Komisioner tunanetra pertama yang berhasil duduk di Komnas HAM. 

True Story - Down Syndrome, Bukan Halangan untuk Berprestasi

Aryanti Rosihan Yacub (57)
Ibu dari Michael Rosihan Yacub (21), Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI)
Down Syndrome, Bukan Halangan untuk Berprestasi

8 tahun lalu, Dublin, Irlandia.

Tanpa kata-kata, dengan penuh kebanggaan dan mata berkaca-kaca, perempuan paruh baya itu menatap lurus ke podium. Di sana, remaja lelaki 13 tahun penyandang Down Syndrome, tersenyum senang kala dikalungkan medali perak ke lehernya.

Aryanti Rosihan Yacub, nama perempuan itu, merasa dadanya sesak oleh kebahagiaan ketika akhirnya merah putih berkibar di ajang pesta olahraga anak-anak berkebutuhan khusus, Special Olympics World Summer Games 2003 di Dublin, Irlandia. Momen itu seolah menjadi pembuktian bahwa putra bungsunya, Michael Rosihan Yacub, bisa melakukan sesuatu yang membanggakan. Bukan hanya untuknya tapi juga untuk bangsa dan negaranya.
Michael berhasil menyabet medali perak dan perunggu untuk nomor atletik lari 50 meter dan lempar bola. Sungguh prestasi membanggakan!

Perjuangan Aryanti selama 13 tahun tak sia-sia. Ketika berdoa mengucap syukur, tanpa bisa dicegah, rangkaian peristiwa berlebat bak potongan film. Seolah-olah cerita hidupnya diputar kembali.

Trisomy 21 Down Syndrome
Dering telepon yang kunantikan itu akhirnya datang. Hari ini, aku akan mendapatkan kejelasan mengenai kondisi putra bungsuku Michael. Semoga hasilnya baik ya, Tuhan. Pun jika aku mendapat kenyataan sebaliknya, beri aku kekuatan untuk menerima.
“Ada telfon untuk Ibu dari Singapura,” asisten rumah tanggaku menyampaikan. Dengan segenap kekuatan yang sudah kukumpulkan selama sebulan ini – pascapemeriksaan kromosom Michael di salah satu Rumah Sakit di Singapura - kuangkat gagang telepon.
“Anak Ibu positif Trisomy 21 Down Syndrome,” ujar suara di ujung telepon dalam bahasa Inggris. Aku tertegun dalam banyak ketidakmengertian. Apa itu trisomy 21? Down Syndrome? Betul-betul aku terkejut. Dari lahir sampai umur satu tahun ini sama sekali tidak kelihatan ada kelainan pada diri Michael. Tidak pernah ada tanda-tanda, perkembangannya menurutku normal-normal saja.

Berat Menerima
Kalau dilihat dari perkembangan fisiknya sekarang ini, apa yang bisa diharapkan dari seorang bayi berusia 1 tahun? Semuanya terlihat normal. Waktunya tengkurap, duduk, tak ubahnya seperti bayi-bayi lainnya. Kemampuan bicaranya juga baik, dia bisa ucapkan “Mama-Papa” cukup jelas.
Aku tak habis pikir. Saat lahir setahun lalu, dokter juga tidak memberitahu kalau ada kelainan pada bayiku. Tapi kini, aku harus menerima kenyataan bahwa anakku menderita kelainan genetik. 
Kenyataan tertulis itu terpampang jelas pada hasil pemeriksaan lengkap yang dikirimkan oleh pihak RS di Singapura ke rumahku beberapa hari kemudian. Jujur aku shock. Beberapa kali aku malah pingsan karena belum siap menerima kenyataan itu.
Apakah kelainan itu terjadi karena saat mengandung Michael usiaku sudah 35 tahun setelah sempat ‘kosong’ 8 tahun? Kuakui, aku memiliki sejarah kehamilan yang kurang baik. Sering keguguran, juga perdarahan. Apakah karena itu? Aku tak mau menebak-nebak, aku harus belajar menerima kenyataan.
Tapi itu sulit! Waktu terus bergulir dan aku masih belum tanggap dengan apa yang harus kulakukan pada Michael. Rasanya semua berjalan begitu lambat. Mungkin rasa shock-ku belum usai. Hatiku masih diliputi rasa tak percaya. Aku jadi maju – mundur, gamang.

Perjuangan Harus Dimulai
Setelah bayiku berusia 3 tahun, baru terasa dia berbeda. Untuk anak seusianya, kemajuan perkembangannya sangat lamban, utamanya pada kemampuan bicara. 
Sejak itu kami datangkan guru khusus untuk terapi wicaranya. Setiap tahun aku ke Singapura untuk mengecek perkembangan Michael. Mengantisipasi kalau-kalau ada kemunduran, sehingga cepat terdeteksi dan tertangani. Enam tahun lamanya aku dan Michael bolak-balik Jakarta – Singapura.
Ketika berusia 4 tahun, hasil tes IQ Michael berkisar di angka 60-an. Sebagai orangtua, aku masih begitu defensif karena masih belum mau mengakui bahwa anakku mengalami keterbelakangan mental. Sungguh mengerikan istilah itu, ditambah lagi aku tak tahu harus berbuat apa.
Bertambah usia, IQ Michael malah merosot menjadi 35. Aku semakin shock!
Pelan-pelan aku merangkak maju. Naluri ibu membuatku bertekad bahwa Michael harus mendapatkan mendapatkan penanganan terbaik!
Selain rutin menjalani terapi wicara, ia juga sering dipijat agar otot-otot tubuhnya tidak kaku. Kumasukkan pula dia ke playgroup tempat kedua kakaknya, Marco dan Marcell, bersekolah dulu. Selain karena itu satu-satunya sekolah yang mau menerima, kepala sekolahnya juga sangat perhatian.
Usia 5 tahun, Michael masih bersekolah di playgroup. Aku berpikir, tak mungkin seperti itu terus. Akhirnya kumasukkan Michael di SLB C Dian Grahita, Kemayoran, hingga SMP. Nah, Michael sudah sekolah, aku berpikir, apa lagi yang harus kulakukan untuk Michael? Ia harus bisa survive
Satu waktu, tiba-tiba aku tersentak. Seolah tersadar dari tidur panjangku, aku ingin bangkit. Batinku berkata, “Aryanti, kamu tidak perlu memaksakan terus apa yang Michael tidak bisa. Coba lihatlah, fokus pada apa yang Michael bisa!”
Ya, kenapa aku tidak lakukan sesuatu yang positif, yang dia memang bisa? 

Akhirnya kucoba konsentrasi pada apa yang dia mampu. Bidang apa? Olahraga! Sejak kecil, Michael memang akrab dengan olahraga bersama kedua kakaknya yang memang aktif di bidang itu. Apalagi motorik kasar Michael lumayan bagus. Ditambah nilai pelajaran olahraga di sekolahnya selalu A. Dari situlah tampak kepercayaan dirinya meningkat.

Menembus Olimpiade
Tahun 1996, aku menyaksikan dari televisi tayangan olahraga Special Olympic – olimpiade bagi anak-anak berkebutuhan khusus - di Amerika Serikat. Alangkah bangganya jika satu hari nanti anakku bisa membawa bendera Indonesia berkibar di sana, pikirku kala itu.
Tahun berganti, aku semakin percaya diri merawat Michael. Akhirny apada tahun 1999, aku mendirikan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), satu wadah bagi anak-anak dengan DS (Down Syndrome) agar mereka memiliki hidup yang lebih berarti. Bukan hanya harga diri, tapi juga agar mereka merasa punya nilai dan bisa berprestasi. 
Tahun 2001, akhirnya aku bertemu pengurus perwakilan Special Olympic di Indonesia. Melalui ISDI, tahun itu juga kami bergabung di Special Olympic.
Kami berlatih untuk persiapan Special Olympics 2003 di Dublin, Irlandia. Pertama kalinya olimpiade untuk anak-anak istimewa ini diadakan di luar AS. Bukan perjalanan mudah bagi kami untuk menuju event sekaliber olimpiade. 
Hingga akhirnya kami pun berangkat! Aku, Michael bersama sahabatnya Eko, beserta pendukung lain dalam tim ini menuju Dublin, Irlandia. Dan ternyata... hasil yang kami dapat sungguh menggembirakan. Setiap anak pulang membawa dua medali. Michael meraih perak dan perunggu di cabang atletik, nomor lari 50 meter dan lempar bola. 
Saat Michael menuju podium, perasaanku tidak karuan. Rasa bangga, sedih, terharu, gembira, semua jadi satu. Mimpiku menjadi nyata. Kau jawab doaku Tuhan, merah putih berkibar, Indonesia Raya berkumandang...
Airmata tak dapat kubendung lagi. Saat konferensi pers berlangsung tiba-tiba aku menangis. Siapa sangka akhirnya kami bisa menjemput impian. Terimakasih, Tuhan.

Pegolf Down Syndrome Satu-satunya di Asia
Tahun 2010 lalu Michael Rosihan Yacub (21) menorehkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pegolf down syndrome satu-satunya di Asia. Satu lagi prestasi membanggakan yang diraih Michael setelah meraih medali di Special Olympics. 
“Tahun 2004 Michael baru diakui boleh main di lapangan. Itupun sangat terbatas. Tetapi karena dia sering dan rutin. Akhirnya dia mencapai prestasi. Tahun 2010 dia satu-satunya pegolf down syndrome di Asia yang memang betul-betul bisa main golf,” bangga Aryanti sang Mama. 
Rupanya olahraga golf sudah diakrabi Michael sejak kecil bersama Ayahnya, Rosihan Nazwar Yacub beserta kedua kakaknya, Marco dan Marcel.
Selain golf, ternyata Michael jago masak loh. “Mike, kamu sudah bisa masak apa saja?” tanya Aryanti pada Michael. 
Dengan terbata-bata Michael menjawab sambil menghampiri kami, “Nasi, sup, tempe, kangkung.” Michael tampak PD dan tidak sungkan untuk bercengkrama dengan Mom&Kiddie. “Sampai ketoprak sama tahu gejrot aja Michael bisa. “Masakannya enak loh,” puji Aryanti sumringah.

Bersama teman-teman di ISDI, Michael juga belajar banyak keterampilan. Belakangan, ia belajar menari dan sedang getol-getolnya bermain drum. Wah, wah...

Marco Rosihan Yacub (31), Kakak Sulung Michael
Tak Pernah Bersikap Overprotect
Saya dengan Michael terpaut 10 tahun. Waktu Michael masih bayi, saya sama sekali tidak tidak melihat perbedaan yang aneh pada fisiknya. Mungkin karena saat itu dia masih balita sehingga cara bicara atau tingkah lakunya sama saja seperti balita pada umumnya. 
Saya sama sekali tak curiga ada keterbatasan pada adik saya. Sampai Mama yang memberitahu kalau ternyata adik saya mengalami kekurangan. Saya, Marcel (adik kedua) dan Michael selalu bermain bertiga. Bahkan kalau dilihat, foto-foto Michael waktu kecil terlihat sama saja dengan balita lain.
Dalam berkomunikasi, awalnya memang ada kendala, saya tidak memahami bahasanya atau keinginannya. Dan untuk menyiasati itu, kita memberikan Michael sejenis kartu bergambar.
Sebagai manusia biasa tentunya saya juga tak luput dari rasa marah, kesal, pun terhadap Michael dan diri saya sendiri. Kadang jengkel karena tidak bisa mengartikan apa yang dibicarakan oleh adik saya. Tapi justru dari situlah, dari Michael saya belajar banyak. Bagaimana belajar lebih sabar dan harus lebih bisa menerima suatu realita dengan kondisi yang dialami oleh adik saya.
Meski demikian saya sebagai kakak tertua tak pernah terlalu overprotect terhadap Michael. Biarlah ia mengekspresikan apa yang menjadi keinginannya dan bisa merasakan diperlakukan sama seperti anak pada umumnya.
Belajar sabar juga saya dapati ketika menghadapi Michael marah. Kalau Michael sudah marah besar biasanya kami diamkan dulu sambil tetap dalam pengawasan atau diikuti apa kemauannya. 


Kami berusaha memberi pengertian, tapi bila dia tidak mau kami pun tidak memaksa. Misalnya saat bermain golf, Michael menghendaki stick A padahal harusnya mengunakan stick B. Pastinya kita melarang atau memberi tahu bahwa itu bukan stick yang cocok, walau kemungkinannya dia akan marah atau membanting stick tersebut. 
Nah, dari situ kami biarkan dan turuti apa keinginannya. Dia boleh mengunakan stick pilihannya, toh nantinya dia akan merasakan sendiri jika stick yang digunakan ternyata salah. Saya bangga memiliki adik seperti Michael. Dari Michael-lah saya belajar banyak hal. Utamanya belajar bersabar dan memahami. Ilmu kehidupan penting yang kini saya terapkan dalam mengasuh anak saya.

Tuesday, November 1, 2011

Tidur itu Enak

Rasanya mau marah banget kalau lagi enak-enak tidur trus tiba-tiba adaaaaa aja yang ngebangunin.

Tidur itu enak, tidur itu syurga. Apalagi kalo pas mimpinya enak juga. Makin pol aja rasanya tidur.

Gak rela sedetik pun untuk membuka mata. Kalo tidurnya udah puas, bagian paling enak setelah itu adalaaah....

NGULET kayak kucing...., kentut, dan bengong kedap-kedip sambil keukeupan guling ^_________________^