Kalimatul Aulia, Ayah dari Dua Orang Anak Penderita Thalassemia
Perlahan sang surya mulai tenggelam ketika sekumpulan bocah masih asyik bermain bola di sebuah lapangan milik salah satu sekolah menengah atas di daerah Kalideres, Jakarta Barat. Muhammad Irfan (9) terlihat paling gesit mengejar bola, berlomba menggiring ke gawang lawan. Peluhnya bercucuran, kaus yang dikenakannya tampak lepek.
Melihat kegesitannya menggocek bola, siapa sangka bocah berwajah sendu itu tengah membangun asa, berharap masih banyak waktu tersisa untuknya.
Bagi sang Ayah, Kalimatul Aulia (39), tak tega rasanya kalau harus merenggut kebahagiaan Irfan saat bermain bola. Padahal, dengan penyakit yang dideritanya, Irfan tidak boleh terlalu lelah agar tubuhnya tidak drop.
Tapi apa mau dikata, tak mungkin juga menahan Irfan di rumah sementara ia hanya memandang iri teman-teman seusianya asyik bermain di luar. Pada akhirnya Aulia melepas Irfan untuk bermain sambil terus memantau dari kejauhan.
Sementara di pinggir lapangan, Dewi Sarah (3) adik Irfan, menggelayut manja dalam dekapan sang ibu Siti Umayah (33) sambil menonton kakaknya beraksi. Irfan dan Dewi, dua bocah pengidap Thalassemia, melalui hari-harinya dengan bantuan darah donor agar bisa tetap bertahan hidup.
Bahkan Irfan kerap diledek teman-temannya dengan sebutan “drakula”. Ya, setiap bulan Irfan dan Dewi harus menjalani transfusi darah di Pusat Thalassemia RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Mau tidak mau, suka tidak suka, seumur hidup dua bocah tersebut harus merelakan jarum selang infus menusuk kulit mereka demi mengantarkan darah ke dalam tubuh.
Thalassemia?
Masih lekat diingatanku, saat itu Irfan baru berumur 3 tahun. Mendadak kulitnya kuning, tidak mau makan, perut terlihat buncit, suhu tubuhnya panas, dan pipis tidak berhenti-berhenti.
Baru selesai pipis, ganti celana, pipis lagi. Begitu terus sepanjang malam. Paginya, langsung kubawa Irfan ke Puskesmas Kalideres. Empat kali bolak balik ke Puskesmas, kondisi Irfan tak kunjung membaik.
Akhirnya Puskesmas merujuk Irfan ke RSUPN Cipto Mangunkusumo. Aku kalut. Sebelumnya kondisi Irfan baik-baik saja dan sama sekali tidak pernah seperti ini.
Setelah diperiksa dengan seksama akhirnya diketahui kalau putraku satu-satunya itu Hb-nya rendah sekali (< 5 g/dL) dan menderita Thalassemia.
Transfusi Darah
Penyakit apa itu? Istilah yang begitu asing di telingaku. Secara sederhana Dokter menjelaskan kalau Irfan memiliki sejenis penyakit kelainan darah yang disebut dengan istilah Thalassemia Mayor.
Kalutku semakin menjadi-jadi. Kok bisa? Siapa yang menurunkan penyakit itu? Aku? Istriku? Entahlah! Sempat kumenyalahkan istri dengan kondisi Irfan. Aku bingung Tuhan, siapa yang harus dipersalahkan?
Anak pertamaku, Istilnatul Awaliyah (12) sejak lahir hingga besar kondisinya normal. Tapi mengapa Irfan bisa begini?
Anak pertamaku, Istilnatul Awaliyah (12) sejak lahir hingga besar kondisinya normal. Tapi mengapa Irfan bisa begini?
Waktu membawa Irfan ke Cipto, aku sama sekali tidak membawa uang lebih karena aku tidak sampai berpikir kalau anakku itu menderita penyakit berat hingga harus diopname. Pontang-panting kucari pinjaman dana. Apalagi, pengasilanku sehari-hari dari mengojek tidaklah seberapa. Selama Irfan diopname, dua hari kuurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) demi mendapat keringanan biaya.
Sejak itu, kehidupan kami berubah! Setiap bulan, Irfan harus menjalani transfusi darah guna mendongkrak Hb-nya. Hingga saat ini total sudah 5 tahun Irfan bolak-balik ke Cipto tiap bulan. Bahkan kalau hb-nya sangat rendah, ia bisa sampai 4 hari ditransfusi.
Memakan Biaya Besar
Pengobatan Irfan tak sedikit memakan biaya. Hingga usaha kecil-kecilan yaitu penyewaan Play Station harus kujual demi membiayai Irfan berobat. Aku pun tak lagi kuat membayar kontrakan dan kembali tinggal bersama orangtuaku. Setiap transfusi harus membayar sejumlah Rp 200.000 tapi karena aku sudah mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), biayanya menjadi separuh harga.
Belum lagi Irfan juga diharuskan minum obat setiap hari. Harga obatnya pun tergolong mahal, berkisar Rp 1,5 juta untuk 1 bulan. Lagi-lagi aku tertolong dengan kartu SKTM. Setiap rupiah yang aku dan istriku kumpulkan, semata-mata kami utamakan demi kelangsungan hidup Irfan. Kalau Hb-nya mulai turun, Irfan pasti mengeluh kepalanya terasa pusing. Beberapa kali ia bolos sekolah. “Irfan pusing Ayah, nggak kuat baca buku, nggak bisa nulis,” begitu selalu keluhnya.
Jangankan untuk membaca dan menulis, untuk beraktivitas seperti biasa saja ia sulit. Hingga akhirnya Irfan tak lagi mau berangkat sekolah. Sepertinya ia terlalu lelah dengan beban pelajaran yang ia ikuti. Sedih, tapi aku tidak bisa memaksa. Alhasil di sela-sela aku dan istri giat mencari uang, Irfan pun kami ajarkan sendiri di rumah.
Cobaan Kembali Datang
15 Juni 2008 lahir anak ketiga kami, Dewi Sarah. Kami hanya berdoa, semoga si bungsu sehat. Manusia boleh berharap, tapi Tuhan jua yang menentukan. Satu tahun usia Dewi, tiba-tiba ia mengalami hal yang sama seperti dialami Irfan dulu. Ya Allah, jangan lagi ya Allah. Apa mau dikata, Dewi didiagnosis menderita Thalassemia Minor. Meski tidak seberat Irfan, tetap saja Dewi juga harus menjalani tranfusi darah. Bahkan dengan usia yang jauh lebih dini dibanding saat Irfan dulu.
Tak tega rasanya aku kala menyaksikan Dewi meneteskan airmata menahan sakit saat disuntikkan jarum infus ke tangannya. Sempat terbersit prasangka dalam benakku, apakah karena dulu pernikahanku tidak direstui oleh kedua orangtua hingga harus menerima hukuman seperti ini. Dua anakku Thalassemi?
Coba dulu kuikuti apa kata orangtua, mungkin tidak akan begini jadinya. Kembali kusalahkan istriku. Sementara ia hanya pasrah, menerima saja saat kusalah-salahkan dia. Membuatku bersalah dan semakin kalut. Ya Allah, cobaan apalagi yang Engkau berikan pada hambaMu yang lemah ini?
Coba dulu kuikuti apa kata orangtua, mungkin tidak akan begini jadinya. Kembali kusalahkan istriku. Sementara ia hanya pasrah, menerima saja saat kusalah-salahkan dia. Membuatku bersalah dan semakin kalut. Ya Allah, cobaan apalagi yang Engkau berikan pada hambaMu yang lemah ini?
Pengobatan Alternatif
Di tengah keputusasaanku, seorang kerabat mengusulkan pengobatan alternatif dengan jalan menemui salah satu orang ‘pintar’. Ia akan membaluri Irfan dengan pasir dari kawah gunung Tangkuban Perahu.
Percaya tidak percaya, siapa tahu berhasil pikirku. Kuikuti usul kerabatku itu. Sampai kutemui kuncen Tangkuban Perahu dan diantarnya aku hingga ke dasar kawah tanpa memikirkan keselamatanku sendiri. Dari sana kudapatkan satu stoples penuh pasir seperti yang diminta si orang pintar. Jadilah kemudian Irfan dibaluri pasir dari kawah gunung Tangkuban Perahu. Hasilnya? NOL!
Dari situ aku tersadar, bahwa sudah betul pengobatan secara medis yang kami jalani selama ini. Pengobatan alternatif ini justru semakin menguras tabungan kami yang tidak seberapa. Yang kami sisihkan setiap hari dari setiap butir keringat kami demi pengobatan Irfan dan Dewi.
Pengobatan Gratis
Bahkan kini Irfan tak cuma sebulan sekali transfusi. Dalam kurun waktu dua minggu Irfan bisa drop Hb-nya dan kembali menjalani transfusi. Aku yang tidak merasakan seperti apa sakitnya saja sudah lelah sekali, bagaimana Irfan dan Dewi?
Kadang aku merasa miris saat Irfan mengeluh capek ditransfusi terus. Bosan minum obat terus. Tapi selalu kukuatkan lagi semangat hidupnya untuk tetap terus berobat. Pernah satu kali kami tunda pengobatan Irfan. Yang biasanya sebulan sekali transfusi, ini kami tunda hingga dua bulan. Sungguh besar penyesalanku di kemudian hari.
Irfan langsung drop, Hb-nya cuma 1,2 dan harus masuk ICU. Itulah kondisi terparah Irfan. Biaya yang dikeluarkan pun semakin membengkak yaitu sebanyak Rp 8 juta. Apapun barang tersisa yang kami miliki kami jual. Saat itu belum ada program pengobatan gratis bagi pasien Thalassemia.
Sering kudengar kalau orang terkena penyakit Thalassemia walaupun dia orang berada pasti akan habis juga karena membutuhkan biaya sangat banyak. Selama hampir 5 tahun kami membiayai sendiri pengobatan anak-anak, akhirnya kami mendapatkan kartu berobat dari Yayasan Thalassemia Indonesia. Syukurlah sekarang pengobatan itu menjadi ringan dengan adanya kartu hijau Jamkestal (Jaminan Kesehatan Thallasemia). Dengan memiliki kartu tersebut, Irfan dan Dewi mendapatkan pengobatan gratis yang sudah disubsidi pemerintah.
Si Adik, Lebih Tegar
Lucunya, kalau si Kakak mulai lelah dan bosan untuk berobat, si Adik justru lebih tegar menjalani pengobatannya. Memang ia suka menangis kalau perawat tidak tepat saat memasukkan jarum ke kulitnya untuk transfusi. Yang kadang membuatnya trauma melihat jarum.
Tapi lama kelamaan Dewi - mungkin karena sudah dia alami sejak usia 1 tahun - pun kini menjadi biasa. Untuk minum obat Dewi juga lebih bisa menerima dibanding Irfan. Untuk anak seusia Dewi, menelan obat pahit setiap hari tentu bukan persoalan mudah. Tapi tidak dengannya. Bahkan terkadang Dewi minta sendiri untuk minum obatnya.
Begitu juga dengan masalah sekolah. Kalau Irfan mengeluh tidak kuat lagi dengan beban pelajaran di sekolahnya, si kecil Dewi walaupun masih tiga tahun bawaannya sudah pengin sekolah terus. Hampir setiap hari ia membawa-bawa tas layaknya mau ke sekolah.
Melihat semangat si kecil Dewi seolah menyadarkanku, bahwa aku masih bisa membangun banyak harapan untuk mereka. Bahwa mereka masih bisa meraih impian mereka seperti anak-anak lain.
Kini aku sudah lebih bisa menerima kondisi mereka dan tiada muluk harapanku. Asalkan mereka bisa hidup sehat, aku akan terus berjuang demi kelangsungan hidup mereka. Tak muluk-muluk mimpiku. Aku ingin mereka bisa menikmati masa kanak-kanak mereka, melalui masa remaja, hingga mudah-mudahan masih diberi umur untuk masa dewasa mereka kelak.
Dimuat di Tabloid Mom&Kiddie/2011
No comments:
Post a Comment