Tuesday, November 8, 2011

True Story - Down Syndrome, Bukan Halangan untuk Berprestasi

Aryanti Rosihan Yacub (57)
Ibu dari Michael Rosihan Yacub (21), Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI)
Down Syndrome, Bukan Halangan untuk Berprestasi

8 tahun lalu, Dublin, Irlandia.

Tanpa kata-kata, dengan penuh kebanggaan dan mata berkaca-kaca, perempuan paruh baya itu menatap lurus ke podium. Di sana, remaja lelaki 13 tahun penyandang Down Syndrome, tersenyum senang kala dikalungkan medali perak ke lehernya.

Aryanti Rosihan Yacub, nama perempuan itu, merasa dadanya sesak oleh kebahagiaan ketika akhirnya merah putih berkibar di ajang pesta olahraga anak-anak berkebutuhan khusus, Special Olympics World Summer Games 2003 di Dublin, Irlandia. Momen itu seolah menjadi pembuktian bahwa putra bungsunya, Michael Rosihan Yacub, bisa melakukan sesuatu yang membanggakan. Bukan hanya untuknya tapi juga untuk bangsa dan negaranya.
Michael berhasil menyabet medali perak dan perunggu untuk nomor atletik lari 50 meter dan lempar bola. Sungguh prestasi membanggakan!

Perjuangan Aryanti selama 13 tahun tak sia-sia. Ketika berdoa mengucap syukur, tanpa bisa dicegah, rangkaian peristiwa berlebat bak potongan film. Seolah-olah cerita hidupnya diputar kembali.

Trisomy 21 Down Syndrome
Dering telepon yang kunantikan itu akhirnya datang. Hari ini, aku akan mendapatkan kejelasan mengenai kondisi putra bungsuku Michael. Semoga hasilnya baik ya, Tuhan. Pun jika aku mendapat kenyataan sebaliknya, beri aku kekuatan untuk menerima.
“Ada telfon untuk Ibu dari Singapura,” asisten rumah tanggaku menyampaikan. Dengan segenap kekuatan yang sudah kukumpulkan selama sebulan ini – pascapemeriksaan kromosom Michael di salah satu Rumah Sakit di Singapura - kuangkat gagang telepon.
“Anak Ibu positif Trisomy 21 Down Syndrome,” ujar suara di ujung telepon dalam bahasa Inggris. Aku tertegun dalam banyak ketidakmengertian. Apa itu trisomy 21? Down Syndrome? Betul-betul aku terkejut. Dari lahir sampai umur satu tahun ini sama sekali tidak kelihatan ada kelainan pada diri Michael. Tidak pernah ada tanda-tanda, perkembangannya menurutku normal-normal saja.

Berat Menerima
Kalau dilihat dari perkembangan fisiknya sekarang ini, apa yang bisa diharapkan dari seorang bayi berusia 1 tahun? Semuanya terlihat normal. Waktunya tengkurap, duduk, tak ubahnya seperti bayi-bayi lainnya. Kemampuan bicaranya juga baik, dia bisa ucapkan “Mama-Papa” cukup jelas.
Aku tak habis pikir. Saat lahir setahun lalu, dokter juga tidak memberitahu kalau ada kelainan pada bayiku. Tapi kini, aku harus menerima kenyataan bahwa anakku menderita kelainan genetik. 
Kenyataan tertulis itu terpampang jelas pada hasil pemeriksaan lengkap yang dikirimkan oleh pihak RS di Singapura ke rumahku beberapa hari kemudian. Jujur aku shock. Beberapa kali aku malah pingsan karena belum siap menerima kenyataan itu.
Apakah kelainan itu terjadi karena saat mengandung Michael usiaku sudah 35 tahun setelah sempat ‘kosong’ 8 tahun? Kuakui, aku memiliki sejarah kehamilan yang kurang baik. Sering keguguran, juga perdarahan. Apakah karena itu? Aku tak mau menebak-nebak, aku harus belajar menerima kenyataan.
Tapi itu sulit! Waktu terus bergulir dan aku masih belum tanggap dengan apa yang harus kulakukan pada Michael. Rasanya semua berjalan begitu lambat. Mungkin rasa shock-ku belum usai. Hatiku masih diliputi rasa tak percaya. Aku jadi maju – mundur, gamang.

Perjuangan Harus Dimulai
Setelah bayiku berusia 3 tahun, baru terasa dia berbeda. Untuk anak seusianya, kemajuan perkembangannya sangat lamban, utamanya pada kemampuan bicara. 
Sejak itu kami datangkan guru khusus untuk terapi wicaranya. Setiap tahun aku ke Singapura untuk mengecek perkembangan Michael. Mengantisipasi kalau-kalau ada kemunduran, sehingga cepat terdeteksi dan tertangani. Enam tahun lamanya aku dan Michael bolak-balik Jakarta – Singapura.
Ketika berusia 4 tahun, hasil tes IQ Michael berkisar di angka 60-an. Sebagai orangtua, aku masih begitu defensif karena masih belum mau mengakui bahwa anakku mengalami keterbelakangan mental. Sungguh mengerikan istilah itu, ditambah lagi aku tak tahu harus berbuat apa.
Bertambah usia, IQ Michael malah merosot menjadi 35. Aku semakin shock!
Pelan-pelan aku merangkak maju. Naluri ibu membuatku bertekad bahwa Michael harus mendapatkan mendapatkan penanganan terbaik!
Selain rutin menjalani terapi wicara, ia juga sering dipijat agar otot-otot tubuhnya tidak kaku. Kumasukkan pula dia ke playgroup tempat kedua kakaknya, Marco dan Marcell, bersekolah dulu. Selain karena itu satu-satunya sekolah yang mau menerima, kepala sekolahnya juga sangat perhatian.
Usia 5 tahun, Michael masih bersekolah di playgroup. Aku berpikir, tak mungkin seperti itu terus. Akhirnya kumasukkan Michael di SLB C Dian Grahita, Kemayoran, hingga SMP. Nah, Michael sudah sekolah, aku berpikir, apa lagi yang harus kulakukan untuk Michael? Ia harus bisa survive
Satu waktu, tiba-tiba aku tersentak. Seolah tersadar dari tidur panjangku, aku ingin bangkit. Batinku berkata, “Aryanti, kamu tidak perlu memaksakan terus apa yang Michael tidak bisa. Coba lihatlah, fokus pada apa yang Michael bisa!”
Ya, kenapa aku tidak lakukan sesuatu yang positif, yang dia memang bisa? 

Akhirnya kucoba konsentrasi pada apa yang dia mampu. Bidang apa? Olahraga! Sejak kecil, Michael memang akrab dengan olahraga bersama kedua kakaknya yang memang aktif di bidang itu. Apalagi motorik kasar Michael lumayan bagus. Ditambah nilai pelajaran olahraga di sekolahnya selalu A. Dari situlah tampak kepercayaan dirinya meningkat.

Menembus Olimpiade
Tahun 1996, aku menyaksikan dari televisi tayangan olahraga Special Olympic – olimpiade bagi anak-anak berkebutuhan khusus - di Amerika Serikat. Alangkah bangganya jika satu hari nanti anakku bisa membawa bendera Indonesia berkibar di sana, pikirku kala itu.
Tahun berganti, aku semakin percaya diri merawat Michael. Akhirny apada tahun 1999, aku mendirikan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), satu wadah bagi anak-anak dengan DS (Down Syndrome) agar mereka memiliki hidup yang lebih berarti. Bukan hanya harga diri, tapi juga agar mereka merasa punya nilai dan bisa berprestasi. 
Tahun 2001, akhirnya aku bertemu pengurus perwakilan Special Olympic di Indonesia. Melalui ISDI, tahun itu juga kami bergabung di Special Olympic.
Kami berlatih untuk persiapan Special Olympics 2003 di Dublin, Irlandia. Pertama kalinya olimpiade untuk anak-anak istimewa ini diadakan di luar AS. Bukan perjalanan mudah bagi kami untuk menuju event sekaliber olimpiade. 
Hingga akhirnya kami pun berangkat! Aku, Michael bersama sahabatnya Eko, beserta pendukung lain dalam tim ini menuju Dublin, Irlandia. Dan ternyata... hasil yang kami dapat sungguh menggembirakan. Setiap anak pulang membawa dua medali. Michael meraih perak dan perunggu di cabang atletik, nomor lari 50 meter dan lempar bola. 
Saat Michael menuju podium, perasaanku tidak karuan. Rasa bangga, sedih, terharu, gembira, semua jadi satu. Mimpiku menjadi nyata. Kau jawab doaku Tuhan, merah putih berkibar, Indonesia Raya berkumandang...
Airmata tak dapat kubendung lagi. Saat konferensi pers berlangsung tiba-tiba aku menangis. Siapa sangka akhirnya kami bisa menjemput impian. Terimakasih, Tuhan.

Pegolf Down Syndrome Satu-satunya di Asia
Tahun 2010 lalu Michael Rosihan Yacub (21) menorehkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pegolf down syndrome satu-satunya di Asia. Satu lagi prestasi membanggakan yang diraih Michael setelah meraih medali di Special Olympics. 
“Tahun 2004 Michael baru diakui boleh main di lapangan. Itupun sangat terbatas. Tetapi karena dia sering dan rutin. Akhirnya dia mencapai prestasi. Tahun 2010 dia satu-satunya pegolf down syndrome di Asia yang memang betul-betul bisa main golf,” bangga Aryanti sang Mama. 
Rupanya olahraga golf sudah diakrabi Michael sejak kecil bersama Ayahnya, Rosihan Nazwar Yacub beserta kedua kakaknya, Marco dan Marcel.
Selain golf, ternyata Michael jago masak loh. “Mike, kamu sudah bisa masak apa saja?” tanya Aryanti pada Michael. 
Dengan terbata-bata Michael menjawab sambil menghampiri kami, “Nasi, sup, tempe, kangkung.” Michael tampak PD dan tidak sungkan untuk bercengkrama dengan Mom&Kiddie. “Sampai ketoprak sama tahu gejrot aja Michael bisa. “Masakannya enak loh,” puji Aryanti sumringah.

Bersama teman-teman di ISDI, Michael juga belajar banyak keterampilan. Belakangan, ia belajar menari dan sedang getol-getolnya bermain drum. Wah, wah...

Marco Rosihan Yacub (31), Kakak Sulung Michael
Tak Pernah Bersikap Overprotect
Saya dengan Michael terpaut 10 tahun. Waktu Michael masih bayi, saya sama sekali tidak tidak melihat perbedaan yang aneh pada fisiknya. Mungkin karena saat itu dia masih balita sehingga cara bicara atau tingkah lakunya sama saja seperti balita pada umumnya. 
Saya sama sekali tak curiga ada keterbatasan pada adik saya. Sampai Mama yang memberitahu kalau ternyata adik saya mengalami kekurangan. Saya, Marcel (adik kedua) dan Michael selalu bermain bertiga. Bahkan kalau dilihat, foto-foto Michael waktu kecil terlihat sama saja dengan balita lain.
Dalam berkomunikasi, awalnya memang ada kendala, saya tidak memahami bahasanya atau keinginannya. Dan untuk menyiasati itu, kita memberikan Michael sejenis kartu bergambar.
Sebagai manusia biasa tentunya saya juga tak luput dari rasa marah, kesal, pun terhadap Michael dan diri saya sendiri. Kadang jengkel karena tidak bisa mengartikan apa yang dibicarakan oleh adik saya. Tapi justru dari situlah, dari Michael saya belajar banyak. Bagaimana belajar lebih sabar dan harus lebih bisa menerima suatu realita dengan kondisi yang dialami oleh adik saya.
Meski demikian saya sebagai kakak tertua tak pernah terlalu overprotect terhadap Michael. Biarlah ia mengekspresikan apa yang menjadi keinginannya dan bisa merasakan diperlakukan sama seperti anak pada umumnya.
Belajar sabar juga saya dapati ketika menghadapi Michael marah. Kalau Michael sudah marah besar biasanya kami diamkan dulu sambil tetap dalam pengawasan atau diikuti apa kemauannya. 


Kami berusaha memberi pengertian, tapi bila dia tidak mau kami pun tidak memaksa. Misalnya saat bermain golf, Michael menghendaki stick A padahal harusnya mengunakan stick B. Pastinya kita melarang atau memberi tahu bahwa itu bukan stick yang cocok, walau kemungkinannya dia akan marah atau membanting stick tersebut. 
Nah, dari situ kami biarkan dan turuti apa keinginannya. Dia boleh mengunakan stick pilihannya, toh nantinya dia akan merasakan sendiri jika stick yang digunakan ternyata salah. Saya bangga memiliki adik seperti Michael. Dari Michael-lah saya belajar banyak hal. Utamanya belajar bersabar dan memahami. Ilmu kehidupan penting yang kini saya terapkan dalam mengasuh anak saya.

Roslina Verauli, M. Psi. Psikolog Klinis
 5 ‘Kesiapan’ Miliki Anak Berkebutuhan Khusus
1. Kesiapan Mental
Memiliki anak dengan gangguan perkembangan tentunya tidak mudah. Umumnya orangtua akan shock saat mengetahui anaknya mempunyai kelainan atau gangguan. “Biasanya awalnya orangtua sulit untuk bersikap menerima sebuah kenyataan kalau anaknya mengalami gangguan perkembangan,” buka Roslina Verauli, M.Psi, seorang Psikolog Klinis dari Rumah Sakit Pondok Indah. 
Jika gangguan perkembangannya adalah Down Syndrome (DS) dimana merupakan satu kelainan genetik, banyak pasangan yang kemudian saling menyalahkan. Bahkan ada satu dua orangtua yang kemudian berpisah karena tidak mempunyai ketahanan mental untuk menerima kenyataan bahwa anaknya memang berbeda. 
Selain kesiapan mental untuk pasangan, siapkan pula ketahanan mental untuk kakak atau adiknya juga. Bagaimana mereka harus siap menerima kondisi saudara kandung mereka,” anjur Roslina.
Ada orangtua yang menolak, sukar menerima, ada yang kemudian menjadi marah, meskipun ada juga yang pada akhirnya mampu menerima kondisi-kondisi itu. Lalu bagaimana caranya agar kita siap secara mental? Kuatkan hubungan dengan pasangan terlebih dahulu. 
“Setiap orangtua musti paham dulu bahwa punya riwayat keluarga, kalau sudah sama-sama tahu kondisinya, dari awal hubungan mereka akan kuat,” urai Roslina. Selanjutnya baru bagaimana kesiapan orangtua untuk bisa menerima kondisi anak. “Orangtua harus paham bahwa anaknya bisa dikembangkan secara optimal. Anak dengan kondisi apapun harus dikembangkan secara optimal,” tegasnya lagi.

2. Kesiapan Pengetahuan
Agar orangtua optimal dalam mengembangkan kemampuan anak dengan DS, maka orangtua juga harus siap dengan bekal ilmu. Ada banyak hal yang bisa orangtua lakukan. Pertama, lakukan konseling dengan para profesional. “Temui dokter anak, psikiater, psikolog anak, agar dapat uraian yang komprehensif tentang anak dan tindakan-tindakan seperti apa yang bisa dilakukan orangtua. 

Bahkan kalau perlu orangtua melakukan management trainee untuk bisa melakukan penanganan-penanganan yang tepat kepada anak mereka,” saran perempuan yang juga berprofesi sebagai staf pengajar di Fakultas Psikologi pada salah satu universitas swasta di Jakarta. 
Kedua, bergabunglah bersama komunitas orangtua dengan anak yang memiliki kondisi yang sama. “Dengan begitu kita tidak merasa sendiri, bisa saling berbagi, bagaimana melihat orangtua yang bisa menerima kondisi anaknya. Bagaimana merawat anaknya, optimalkan tumbuh kembangnya, hingga bisa berprestasi. Ikuti seminar-seminar, tentang penanganan anak dengan DS. Jadi orangtua harus betul-betul siap knowledge-nya. Dengan siap knowledge dan juga siap mental kita punya kekuatan untuk memoles anak agar bisa mandiri, bisa melihat dia sebagai individu yang unik,” katanya.

3. Kesiapan Fisik
Sebagai orangtua dengan anak DS, tentunya diperlukan energi ekstra. “Perkembangan motorik anak DS terhambat pada awal-awal usianya, kemampuan wicaranya sulit, kemampuan belajarnya, problem solving, ini tidak mudah dan mereka butuh latihan berulang agar mereka bisa belajar. Dibutuhkan fisik yang fit agar dapat betul-betul memahami kondisi anak,” jelas Roslina.

4. Kesiapan Finansial
Dibutuhkan banyak biaya, untuk itu ikutkan mereka dalam jaminan asuransi.

5. Kesiapan Sosial
Kesiapan secara sosial di sini dalam arti, mampukah kita sebagai orangtua membawa anak bisa bersosialisasi dengan keluarga terdekat hingga masyarakat yang lebih luas. Bagaimana mengenal orang, berinteraksi, mana orang yang harus diajak berinteraksi, bagaimana menghadapi orang asing, dan sebagainya.

Dimuat di: Tabloid Mom&Kiddie/2011

1 comment:

  1. Istri seorang penterapi anak batita (bawah 3 tahun) down syndrome (ds) sudah menjadi seorang penterapi wanita dan anak sejak 10 thn lalu dan khusus terapi anak ds sejak 7 tahun lalu. http://kprihatmono.blogspot.com/2014/10/seorang-ibu-jakarta-barat-mukzizat-nya.html?m=1 silakan baca kisah2 nyata pada link yg disertakan, http://kprihatmono.blogspot.com/2014/09/karunia-allah-pada-anak-perempuanku-1.html?m=1 dalam sebulan saat ini sy menerima telpon hingga 5 orang tua yg anaknya DS. Terapi kami adalah dgn zikir dan cloning. Banyak yg sudah berhasil dgn baik. Hasil yg didapat mata yg semula sipit sebelah atau keduanya menjadi belok spt yg dimiliki anak normal, kantung mata yg tebal jd berubah, jd tujuannya adalah (dengan memohon kpd Allah sbg pencipta) agar seluruh alat2 tubuh dan penampilan fisik berubah semaksimal mungkin menjadi anak normal (tergantung banyaknya) dan semakin usia dini semakin baik hasilnya. Sesungguhnya Allah berkata: Aku sesuai prasangka hamba-Ku pada-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku. (Hadits riwayat Muslim). Semoga postingan ini bisa bermanfaat bagi pembaca dgn anak terlahir DS. Salam dari penulis Drs.R.Kurniawan Prihatmono 081386837511 (harap sms lebih dulu).

    ReplyDelete