Tuesday, November 8, 2011

True Story - Tuna Netra Pertama Raih Doktor Bidang Hukum


DR. Saharuddin Daming, SH, MH, Komisioner Komnas HAM
Kebutaan, Bukan Akhir dari Kesuksesan

Meski tunanetra, Saharuddin Daming tak pernah kenal kata menyerah terhadap kondisi kebutaannya. Baginya, sebagai manusia harus selalu siap untuk berhadapan dengan tantangan dan percaya bahwa Tuhan tak pernah tidur. “Asal kita mau berjuang, insya Allah Tuhan akan selalu memberi jalan. Kapan kita sampai di ujungnya, semua hanya persoalan waktu,” begitu selalu yakinnya.

Pak Daming, begitu ia sehari-hari disapa di lingkungan ia bekerja sebagai Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dia adalah satu-satunya Komisioner tunanetra pertama yang berhasil duduk di Komnas HAM. 

Posisi ini membuatnya semakin gigih berada di garis terdepan dalam memperjuangkan hak kaum senasibnya dari perlakuan diskriminatif serta ketidakadilan. Tak hanya itu, Daming juga berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu hukum. 
Berdasarkan catatan sejarah pendidikan di Indonesia, Saharuddin Daming merupakan penyandang cacat keempat yang meraih gelar doktor di Indonesia. Namun di bidang hukum, ia merupakan doktor pertama di Indonesia yang berasal dari penyandang cacat.
Saat kami menyambangi kantor Komnas HAM untuk sesi wawancara, nama Pak Daming begitu dikenal mulai dari sekuriti, penjaja rokok, hingga penjual mie ayam pinggir jalan. Kisah hidup Daming yang begitu inspiratif takkan mudah untuk dilupakan. Bahkan, di tengah segala keterbatasannya, kita sebagai individu dengan panca indera yang sempurna dapat mengambil tauladan darinya. Meski buta, ia tetap ulet, pantang menyerah, sabar, penuh keyakinan dan tiada putus memohon doa pada Sang Pencipta.

Cinta Buku Sejak Kecil
Pare-pare, Sulawesi Selatan adalah tempatku dilahirkan pada 28 Mei 1968. Sejak kecil aku lebih senang menghabiskan waktu di taman bacaan daripada bermain dengan teman sebayaku. Semangat belajarku memang tinggi. Bahkan jika Sitti Lai, Ibuku mengajak bepergian untuk mengunjungi keluarga di luar kota, dengan sangat halus dan santun aku pasti menolak. 

Aku tak mau ketinggalan pelajaran barang sedikitpun. Syukurlah, berkat ketekunanku aku selalu menjadi bintang kelas sejak kelas 3 SD hingga tamat. Berbagai lomba sering kuikuti. Mulai cerdas cermat, lomba melukis, menulis indah, hampir semua dapat kumenangkan. Aku selalu antusias dengan berbagai kegiatan di bidang pendidikan.

Bekerja Sambil Belajar
Semangatku untuk menimba ilmu begitu besar. Laksana orang berperang, semangat 45 terus berkobar. Meski demikian aku tak pernah lupa untuk tetap membantu Ibu, baik untuk segala keperluan di rumah maupun dalam melancarkan usaha kecilnya menjajakan jagung bakar di emper-emper toko.
Maklumlah, sejak usiaku 6 tahun, Ayah telah wafat dan meninggalkan 5 orang anak. 

Demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, Ibu gigih dan tekun bekerja walau penghasilannya tak seberapa, membuatku begitu mengagumi sosoknya. Sehingga untuk meringankan beban Ibu, dengan berat hati aku meninggalkan kebiasaan membaca buku di luar jam sekolah untuk bekerja sambilan. Menjajakan kue, es lilin, menjadi kuli bangunan, kondektur angkutan umum, hingga tukang antar keranjang ikan di pelabuhan pun kulakoni.

Rumah Impian
Kerja keras yang kami lakukan rupanya membuahkan hasil. Kami akhirnya dapat membeli rumah panggung khas Bugis untuk menggantikan pondok - kalau tidak dapat disebut gubuk - yang telah kami huni bertahun-tahun. Sebelum dihuni, rumah panggung yang baru dibeli terlebih dulu harus dibongkar dan dirakit. Rangkaian rumah satu persatu mulai dilepas. Tidak ketinggalan bagian atap yang terbuat dari daun nipah yang sudah sangat retas terus dijatuhkan ke tanah dengan menyisakan partikel yang berhamburan di udara.

Aku Buta Sebelah
Saat proses pembongkaran rumah, aku yang saat itu berusia 10 tahun ikut hilir mudik sibuk membongkar rumah. Hingga tidak sengaja bagian mata kananku kemasukan debu dari partikel atap yang tengah dibongkar tadi. Spontan tanganku pun mengucek-ucek mata sekadar untuk menghilangkan rasa gatal dan perih. Sambil berjalan kaki menenteng bagian-bagian bongkaran rumah, aku terus mengucek mata kananku. Tapi kok semakin dikucek rasa gatal dan perih justru semakin kuat kurasakan. 
Rupanya mataku iritasi hingga lama kelamaan pandangan mata mulai terganggu. Kabut bernuansa kemerah-merahan bukan saja makin melebar, malah semakin padat dan menebal. Sehingga dalam waktu kurang dari satu tahun, mata kananku justru mengalami kebutaan total. Tak ada yang tahu akan hal ini. Baik keluarga, guru, maupun teman-temanku. Aku takut dan malu. Toh kupikir, mata kiriku masih berfungsi normal. 
Bersama Nicola C-AUSAID
Menabrak Benda di Depanku
Meski hanya ditopang dengan satu mata, aku tetap melanjutkan kesukaanku mengunjugi taman bacaan sepulang sekolah hingga malam hari. 

Hausku akan ilmu membuatku bernafsu melahap banyak buku. Hampir setiap hari aku dapat menuntaskan 12 jilid buku meski pencahayaan tak begitu terang. Itu tak menghalangi hasratku untuk membaca.
Tanpa sadar, kebiasaan itu justru membawa petaka bagiku. Mata kiriku akhirnya bernasib sama dengan gejala persis seperti yang pernah menimpa mata kananku. Untuk mencegah terjadinya perkembangan yang lebih buruk sekaligus membantuku mengatasi ketidakmampuan melihat tulisan dengan jarak normal, dokter sempat menyarankan agar aku berkacamata. Tapi, aku malu berkacamata! Lagipula, uang darimana untuk membeli kacamata? Minta pada Ibu aku pun tak tega. 
Hari demi hari berlalu. Saat kelas VI SD, aku mulai menabrak benda-benda yang ada di hadapanku. Ya Allah, janganlah Kau ambil penglihatanku satu-satunya ini. Aku cemas dan bingung. Begitu juga dengan keluarga, utamanya Ibu.

Duniaku Sepenuhnya Gelap Gulita
Tak berapa lama aku dibawa oleh Ibu dan kakak sulungku untuk mendapat perawatan mata di salah satu rumah sakit di Makassar. Setelah melalui pemeriksaan yang intensif, tim dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi. 
Namun naas bagiku, lebih dari 20 pasien menjalani operasi tapi hanya aku satu-satunya yang gagal memulihkan penglihatan pascaoperasi. Apa mau dikata, manusia punya rencana, Tuhan jua yang menentukan. Meski demikian keluargaku tetap mengusahakan langkah lain di luar medis. Semata-mata agar aku dapat kembali melihat. 
Segala pengobatan alternatif pun dicoba. Tanpa terasa sudah berlangsung lebih daris atu tahun. Tapi sepertinya secercah cahaya tak lagi dapat menerangiku sedikit pun. Duniaku kini, sepenuhnya gulita...
Perasaan sedih, penyesalan, dan kekalutan mulai menguasai diriku. Mendadak semangat 45 yang dulu begitu berkobar kini padam! Hatiku perih, hancur.

Bangkit Membangun Asa
Waktu demi waktu berlalu, aku semakin tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Namun kakakku Narti rupanya tidak terima jika adik bungsunya ini harus terus terjerembab dalam kenestapaan. 

Ia tiada henti mendukungku. Perlahan aku mulai dapat menerima kebutaan ini. Mulai tumbuh keyakinan dalam diriku bahwa kebutaanku ini tetap harus diterima sebagai satu anugerah, bukan untuk terus ditangisi. 
Akhirnya tak berapa lama aku mau menempuh pendidikan di SLB-A Yapti Makassar. Aku mulai belajar dari nol lagi. Bagaimana cara membaca dan menulis dengan huruf braille. Tak mudah memang. Namun aku mencoba tabah, sabar dan kembali membangun semangatku untuk maju.

Tetap Berprestasi
Setelah menamatkan pendidikan di SLB-A Yapti Makassar tahun 1985, aku melanjutkan pendidikan secara integrasi di SMA Muhammadiyah Makassar. Tidak puas dengan bentuk layanan di tempat ini, saat kenaikan kelas aku pindah ke SMA Datuk Ribandang Makassar. 
Di sekolah baruku ini keberadaanku mula-mula disambut dengan sikap sinis, baik oleh para siswa maupun guru. Pasalnya akulah siswa tunanetra pertama dan satu-satunya yang bersekolah disana. Siswa sekolah umum harus bersaing dengan siswa tunanetra? Mungkin hal demikian yang membuat mereka seakan tidak percaya dengan keberadaanku di sana.
Syukurlah pada akhirnya aku dapat membuktikan kalau aku pun layak bersekolah di situ. Semester pertama aku berhasil meraih ranking satu di kelas dan menggondol prestasi belajar tertinggi untuk tingkat rayon, menyisihkan para peserta yang seluruhnya adalah kalangan nontunanetra. Prestasi seperti itu dapat terus kuraih hingga tamat tahun 1988.

Disepelekan, 'Makananku' Sehari-hari
Disepelekan oleh lingkungan tak hanya kualami saat SMA. Niatku menuju perguruan tinggi pun sempat dibuat down oleh wali kelasku sendiri. “Sudahlah Nak, kau tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, selain tidak mungkin diterima, toh tidak bisa jadi pegawai sekalipun sarjana. Jangankan tunanetra, orang yang sehat dan lebih pandai dari Ananda saja banyak yang menganggur. Lebih baik cari jalan pintas saja seperti kursus pijat atau musik biar Ananda lebih cepat dapat penghasilan,” begitu saran wali kelasku. 
Aku tak patah arang. Segala bentuk cemoohan, cibiran, dan sinisme justru kujadikan pecutan untuk mendorongku agar tetap sabar dan tak kehilangan semangat.

‘Kucing-kucingan’ Mendaftar Kuliah
Diam-diam aku menempuh jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Agar tidak dipersulit oleh panitia penerimaan karena kondisiku sebagai seorang tunanetra, kuminta bantuan Ahmad (seorang guru di SLB-A Yapti Makassar) untuk mengambil dan mengembalikan formulir, “Kalau panitia menanyakan keberadaan saya, katakan saja kalau saya sedang sakit,” begitu yakinku pada Ahmad. 
Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil. Aku resmi terdaftar sebagai peserta Sipenmaru tahun 1988. Keberadaanku dilokasi Sipenmaru tak ayal mengundang perhatian dari panitia, jurnalis dan para peserta sendiri. Lagi-lagi karena peristiwa tersebut merupakan hal yang pertama kali dalam sejarah penyelenggaraan seleksi penerimaan mahasiswa baru pada perguruan tinggi negeri di Makassar. Kehebohan beruntun terjadi menyusul pengumuman hasil Sipenmaru yang menempatkanku berada di deretan nama yang dinyatakan lulus pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Memimpin Diskusi, Membuatku Diakui
Mendapat perlakuan tidak layak rupanya masih terus berlanjut. Kualami saat-saat semester terakhir kumenyelesaikan kuliah S1 ku. Di salah satu mata kuliah yang kuulang karena ingin mendapat nilai A, aku sekelas dengan adik-adik mahasiswa semester awal yang barang tentu tidak mengenal diriku. Kebetulan saat itu mata kuliah diskusi dan harus membentuk kelompok. 
Apa yang terjadi? Tak satu pun kelompok yang mau menerimaku. Sedih? Tentu saja! Tapi aku tak pernah kehilangan akal. Saat diskusi berlangsung aku cecar kelompok-kelompok itu dengan berondongan pertanyaan hingga membuat mereka kewalahan. 
Sampai dosenpun geleng-geleng kepala melihat 1 orang tunanetra dapat membungkam sekian banyak kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Karena mereka kewalahan, dosen memutuskan agar pertanyaan-pertanyaanku tersebut dijadikan PR dan dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya. Tanpa disangka-sangka, belum sampai bubaran kelas, mahasiswa-mahasiswa dalam kelompok itu menyerbuku dan saling berlomba menawarkanku untuk bergabung di kelompok mereka.

Layangkan Surat ke Mahkamah Agung
Lulus S1 sebagai Sarjana Hukum, kemudian aku mengikuti ujian advokat di Pengadilan Tinggi Makassar. Namun aku dinyatakan tidak lulus. Tentu saja aku heran karena apa yang diujikan itu merupakan favoritku saat kuliah dan aku merasa bisa dalam menjawabnya. 

Apakah karena aku tunanetra maka aku tidak layak untuk dinyatakan lulus? Kubuat surat pengaduan setebal 40 halaman dibantu oleh istriku Yayi Zaitun Asdy yang selama ini selalu setia mendampingiku. Surat tersebut kulayangkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI dengan tembusan Ketua DPRD setempat dan Ketua Pengadilan Tinggi Makassar sendiri.

Dilantik Sebagai Advokat
Tak pernah kusangka rupanya strategi itu membuahkan hasil. Satu tahun kemudian, mendadak aku dipanggil oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk segera dilantik sebagai advokat yang dinyatakan lulus susulan. Tentu saja aku kaget luar biasa. Tak henti-hentinya aku bersyukur dengan segala liku kehidupan yang aku jalani, pada akhirnya berbuah manis.

Ingatlah bahwa Tuhan tak pernah tidur dan selalu mendengar doa umatNya. Tidak ada kehidupan didunia ini yang tanpa tantangan, orang yang paling prima sekalipun pasti memiliki tantangan. Hendaklah kita ini selalu menilai bahwa apa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita adalah penghargaan, bukan penghalang.

Kejutan Ulang Tahun dari Dua Bidadari Kecil
Seperti apa Saharuddin Daming dalam mendidik anak-anaknya? “Soal pembinaan anak memang hampir seluruhnya mulai dari urusan sekolah lebih dominan di saya. Misalnya, mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Terkecuali misalnya itu memerlukan penglihatan maka tugas ibunya untuk menerangkan. 

Kalau untuk urusan perilaku tentu saya berdua istri bersama-sama memberi contoh bagaimana harusnya bersikap, persoalan akidah, dan lainnya,” kata pria yang akrab dipanggil Udin ini. Kedua putri Udin yaitu Fadhillah Istiqamah (12) dan Mufidatul Husna (10) sangat dekat dengan sang Ayah. Bahkan beberapa waktu lalu, pertama kali dalam hidupnya Udin merayakan ulangtahun.

“Anak-anak yang merencanakan kejutan ulangtahun saya. Padahal seumur-umur saya nggak pernah merayakan ulangtahun segala. Saya begitu terharu, mereka telah menyiapkan kado dan ucapan ulangtahun yang mereka tulis dalam sepucuk surat. Mereka menuliskan kata-kata yang membuat saya sangat terharu. Mereka tuliskan dalam surat itu kalau mereka begitu bangga dengan Ayahnya ini,” cerita Udin bahagia.

Selain kehadiran anak-anak yang begitu menyayanginya, Udin pun bersyukur memiliki istri seperti Yayi Zaitun Asdy yang tiada pernah lelah mendampinginya sejak mereka masih sama-sama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar dulu.

Yayi adalah juga seorang advokat yang selalu hormat dan bangga meski suaminya tunanetra. Satu lagi sosok yang tak dapat dilepaskan dari keseharian Udin adalah Chairul Rusli. Chairul, asisten pribadi Udin yang nyaris 24 jam mendampingi Udin. Mulai dari menyupiri, hingga mencari data di internet dan mengetikkan bahan seminar untuk Udin. Meski dunia kini tampak gelap, kasih orang-orang terdekat selalu bersinar untuk menerangi hidup Saharuddin Daming.

Dimuat di: Tabloid Mom&Kiddie/2011

No comments:

Post a Comment