Terlahir sebagai perempuan adalah
anugerah. Namun tidak demikian dengan kondisi perempuan di banyak negara Dunia
Ketiga yang kerap dianggap sebagai warga kelas dua. Untuk itu, saya
pilihkan tiga novel berikut ini karena sarat pesan akan perjuangan perempuan
melawan ketidakadilan. Bukan hanya dari lingkungan sekitar, tapi juga bagaimana
bertahan hidup dengan trauma psikologis yang dialaminya akibat tindak kekerasan.
Kalau Anda berpikir buku tentang
feminisme ‘berat’ untuk dicerna? Maka, dengan balutan fiksi dalam tiga novel
ini, feminisme dapat dimaknai melalui cara yang sangat memikat . Menyentuh
kesadaran kemanusiaan dan menggetarkan nurani untuk perubahan yang lebih baik
bagi perempuan di muka bumi.
Judul : Half of A Yellow Sun
Penulis : Chimamanda Ngozi Adichie
Halaman : 761 Halaman
Harga : Rp 58.800
Penerbit : Hikmah Novel (PT Mizan Publika)
Tahun : 2008
Olanna tokoh utama dalam novel ini, seorang wanita Igbo berpendidikan Barat
jatuh hati pada Odenigbo, dosen yang sangat idealis. Odenigbo meyakini bahwa
orang-orang Igbo bisa hidup lebih baik jika memisahkan diri dari Nigeria dan
menjadi warga negara Biafra. Sayang, keyakinan Odenigbo, justru menjerumuskan
dia dan Olanna ke dalam kubangan penderitaan perang.
Dua tokoh lain yakni saudara kembar Olanna, Kainene dan Richard kekasihnya.
Kainene digambarkan 180 derajat berbeda dari Olanna baik secara fisik maupun
karakter. Aktivitas yang mereka lakukan juga jauh berbeda. Meskipun Olanna dan
Kainene kembar, mereka tidak akrab. Seperti terdapat jurang yang dalam antara
mereka.
Sementara tokoh Richard hadir mewakili orang kulit putih yang bersimpati
pada perjuangan rakyat Biafra. Melalui tulisan-tulisannya ia menyiarkan fakta
yang terjadi di daerah konflik. Tokoh pendukung yang tak kalah penting adalah
kehadiran bocah bernama Ugwu yang menjadi pelayan setia Odenigbo.
Chimamanda Ngozi Adichie berhasil menyeret pembaca
dalam sebuah kisah dramatis tentang cinta, perang, dan pengorbanan. Judul Half
of A Yellow Sun sendiri diambil dari gambar separuh matahari kuning yang
menjadi lambang Republik Biafra, selain warna merah hitam hijau bendera mereka.
Adichie melukiskan kisah berlatar perang saudara ini dengan bahasa yang indah
dan menyentuh. Meski berbau politis, Adichie
piawai dalam menciptakan intrik di antara para tokoh. Terjadi
perselingkuhan yang begitu mengguncang hubungan persaudaraan antara si kembar
Olanna dan Kainene. Penasaran?
Shangri-La the Hidden City, Rahasia Angka 13
Sudah saya uraikan di postingan sebelumnya. Selengkapnya...
Judul : Snow Flower and the Secret Fan
Penulis : Lisa See
Halaman : Halaman
Harga : Rp 59.000
Penerbit : Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka)
Tahun : 2011
Lisa See sebagai
penulisnya menyampaikan cerita menawan tentang kehidupan perempuan Cina yang serba terkekang pada abad ke-19.
Perempuan yang tinggal di Los Angeles dan disebut sebagai Wanita Nasional Tahun
2001 oleh Organisasi Wanita Cina – Amerika ini tertarik dengan nu shu yang
kemudian mengilhaminya untuk menulis kisah dalam buku ini. nu shu, tulisan
berupa kode rahasia yang digunakan oleh para perempuan di daerah terpencil di
selatan Provinsi Hunan – diyakini berkembang seribu tahun lalu - dan dianggap
sebagai satu-satunya bahasa tulisan di dunia yang secara khusus diciptakan oleh
perempuan untuk keperluan mereka sendiri.
Melalui tokoh Bunga
Salju dan Lily, terkuak tradisi pengikatan kaki untuk mendapatkan bentuk lotus
yang suci. Bunga Salju dan Lily adalah kembaran sehati. Bersama mereka melalui
hari-hari sebagai gadis kecil, remaja, hingga dewasa. Bersama mereka melewati
masa-masa menyakitkan saat kaki diikat. Meski jarak terentang, mereka menyatu
dalam ikatan sebuah kipas sutra berhias nu shu. Dalam nu shu terungkap
banyak kisah tentang keluhan, ketidakadilan dan tragedi yang dialami perempuan.
Lily, seperti banyak anak gadis di Cina harus
menjalani tradisi pengikatan kaki. Padahal, di seluruh negeri Cina, satu dari
sepuluh gadis meninggal dalam proses pengikatan kaki. Demi mendapatkan kasih
sayang sang Mama, Lily rela memiliki kaki terikat. Perempuan dengan kaki mungil
menjadi dambaan pria Cina di jaman itu. “Saya berusaha memenuhi semua yang
mereka harapkan dari saya, agar saya memiliki kaki terikat paling kecil dengan
membiarkan tulang-tulang jari kaki saya patah dan tercetak dalam bentuk yang
lebih indah,” ujar Lily. Tujuh ciri utama kaki yang terikat sempurna: Kaki
harus kecil, sempit, lurus, runcing, melengkung, tetapi tetap wangi dan lembut.
Bisa dibayangkan seperti apa penderitaan yang dialami perempuan-perempuan Cina
kala itu? Dita
No comments:
Post a Comment