![]() |
Foto: http://misserinterese.com |
Sejak
remaja saya senang menulis diary. Ritual ini saya lakukan setiap
hari. Suatu hari, saya memergoki suami asyik membuka lembar demi
lembar diary kesayangan saya. Kaget, marah, sedih, semua campur aduk
jadi satu. Waktu suami saya tegur karena tidak meminta izin saya
–sebagai yang empunya- terlebih dulu, dia malah balik bertanya
dengan penuh kecurigaan, “Loh, kita kan suami istri. Jadi saya
berhak dong untuk mengetahui semua yang kamu lakukan. Termasuk isi
diarymu ini. Begitu juga sebaliknya. Kenapa Sayang? Kamu nggak suka?
Wah, jangan-jangan ada sesuatu ya?”
Jujur
saya sakit hati karena malah dicurigai macam-macam. Padahal saya
setia sepenuhnya pada suami. Selain diary, suami juga sering mengecek
isi handphone. Sejak saat itu saya mulai jarang menulis diary,
rasanya malas saja karena merasa tidak lagi memiliki teritori
pribadi. Salahkah jika saya demikian? Apakah ketika pasangan sudah
terikat dalam satu lembaga pernikahan serta merta menghilangkan ranah
pribadi mereka? –Diandra (27), usia pernikahan 1 tahun-
Demikian
sepenggal curhatan seorang perempuan bernama Diandra di salah satu
milis. Tak lama kemudian beberapa anggota milis lainnya menanggapi.
Ada yang bilang privasi itu tidak penting. Sebaliknya tak sedikit
yang menganggap privasi itu sungguh sangat penting meskipun sudah
menikah.
Milikku
Milikmu?
Ketika
pasangan memutuskan menikah, apakah dengan serta merta telah terjadi
‘kepemilikan’ antara istri-suami? Kemudian muncul istilah seperti
saling memiliki, sudah menjadi satu, milikku milikmu juga, dan
lain-lain.
“Banyak
hal yang berubah dalam tatanan hidup seseorang ketika memutuskan
untuk menikah. Tidak lagi menjadi single tetapi masuk pada
episode berikutnya, masing-masing berperan menjadi istri dan suami.
Adanya ikatan pernikahan yang sah tentu membuat mereka saling
memiliki. Artinya memiliki tanggung jawab sesuai peran yang
diembannya. Memiliki bukan berarti keduanya melebur menjadi satu atau
tidak ada lagi sekat dan ruang untuk menjadi diri sendiri. Mereka
tetap memiliki ruang pribadi dan memiliki ‘rahasia’ yang
kemungkinan tidak perlu dibagi kepada yang lain. Hal ini tentunya
harus disertai tanggung jawab di mana kita memiliki rambu-rambu untuk
tidak menyalahgunakannya,” jelas Widiawati Bayu, SPsi, Psikolog,
dari PT. Kasandra Persona Prawacana Jakarta.
Memaknai
Privasi
Lalu
bagaimana memaknai suatu privasi dalam pernikahan? Widiawati kembali
memaparkan bahwa privasi dalam pernikahan pada dasarnya tergantung
pada kenyamanan individu dan tidak merasa terpaksa untuk membuka
semuanya. “Belum tentu juga kita mengetahui siapa dia seutuhnya
akan membuat kita nyaman. Ada bagian tertentu dalam kehidupan yang
kita tutup saja dan membiarkannya menjadi bagian dari sejarah hidup
dan pembelajaran. Coba diskusikan, apakah komitmen bisa dijalankan
atau perlu ditata ulang?” urai Widiawati.
Berkaca
dari kasus Diandra di atas, Widiawati berpendapat agar tidak timbul
saling curiga lebih baik dibuat sebuah komitmen di mana pasangan
saling menghargai untuk tidak membuka ranah pribadi. “Ranah pribadi
ini misalnya tidak membuka HP, laptop, dompet, tas, hingga buku
harian. Namun komitmen tersebut juga harus dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak disalahgunakan. Justru kalau salah
satu merasa sudah terganggu dan tidak nyaman bila HP dan lain-lain
bisa dibuka, hal ini malah menimbulkan pertanyaan. Jadi yang perlu
dipegang adalah kejujuran,” papar psikolog lulusan Universitas
Katholik Atma Jaya ini.
Menghadapi
si Negative Thinking
Nah,
bagaimana cara bijak memberi pengertian pada pasangan agar dapat
saling menghargai privasi masing-masing?
“Memberitahukan
dan memberi pengertian pada pasangan memang bukan perkara mudah.
Alih-alih menyulut pertengkaran karena bisa mengundang salah paham
dan kecurigaan. Apalagi bila salah satu adalah tipe pecemburu dan
kerap negative thinking. Tipe seperti ini justru semakin
diberi pengertian akan semakin penasaran, mau tahu ada apa ya di
dalam HP, di emailnya, di diary-nya. Untuk menghindari hal
yang tidak diinginkan, kita harus menjaga kalimat, cara berkomunikasi
dengan teman, utamanya lawan jenis, jangan sampai komunikasi tersebut
malah mengundang interpretasi berbeda,” sarannya. n
Andri
Setia Pratama (27), Auditor Ernst&Young, suami dari Risya
Hariyani (24), Finance Staff Trakindo Utama. Usia Pernikahan: 2
Bulan
Saling
Percaya Meski Sempat Diinterogasi
Menurut
saya privasi lumayan penting. Saya pribadi nggak suka dan
sampai sekarang nggak pernah ngecek-ngecek HP istri.
Pernah satu kali sewaktu keluar kamar dan HP saya geletakkan begitu
saja di ranjang, istri ngebacain SMS yang baru masuk ke HP
lalu keterusan baca SMS yang lain.
Dia
tanya nama seorang perempuan. Agak kaget juga, padahal tadinya saya
pikir sudah nggak perlulah ngomongin perempuan yang mantan
pacar saya itu, karena sudah jadi bagian dari masa lalu. Tapi karena
sudah terlanjur ditanya ya sudah akhirnya saya kasih tahu kalau
perempuan itu adalah mantan pacar. Eh, jadi nanya-nanya yang lain,
“Umur berapa? Kerjanya apa? Rumahnya di mana? Kenapa nggak jadi
nikah sama dia?” He...he...he, jadi diinterogasi deh. Sampai detik
ini kami belum ada kesepakatan, yang penting saling percaya saja. n
Liskorida (29), Kabag.
Relasi Bisnis RS Royal Taruma, istri dari Rahman Uki Wijaya (31),
PT Krakatau Medika. Usia pernikahan: 1,5 tahun
“Psssttt,
saya pernah baca diary suami!”
Privasi
bagi saya adalah sesuatu yang tidak bisa diceritakan kepada orang
lain. Privasi tetap penting dan harus tetap ada dengan batasan
masing-masing saling menyadari agar jangan sampai membuat pasangan
curiga, cemburu atau tersakiti. Seperti halnya kita, bila terlalu
sering diinterogasi pasti akan membuat tidak nyaman, merasa bahwa
pasangan tidak percaya dengan kita.
Pernah suatu ketika saya
menemukan diary suami. Isi diary tersebut adalah cerita
tentang pacarnya saat masih kuliah dulu bahkan lengkap dengan foto.
Karena takut diketahui suami, saya membacanya di kantor. Banyak
ceritanya, ada yang lucu, haru dan bikin cemburu. Tapi saya tidak
lantas menginterogasi suami saya, cukup tahu aja deh.
Dari situ saya sering mengintip percakapan mereka di wall
facebook. Tetapi hal itu justru membuat saya yakin bahwa dia sudah
melupakan cerita lama dan menyintai saya sebagai istrinya.
Sumber: Tabloid Mom&Kiddie, Edisi 25 Th IV / 2010
No comments:
Post a Comment