Sunday, April 14, 2013

Privasi, Pentingkah Dalam Pernikahan?


Foto: http://misserinterese.com

Sejak remaja saya senang menulis diary. Ritual ini saya lakukan setiap hari. Suatu hari, saya memergoki suami asyik membuka lembar demi lembar diary kesayangan saya. Kaget, marah, sedih, semua campur aduk jadi satu. Waktu suami saya tegur karena tidak meminta izin saya –sebagai yang empunya- terlebih dulu, dia malah balik bertanya dengan penuh kecurigaan, “Loh, kita kan suami istri. Jadi saya berhak dong untuk mengetahui semua yang kamu lakukan. Termasuk isi diarymu ini. Begitu juga sebaliknya. Kenapa Sayang? Kamu nggak suka? Wah, jangan-jangan ada sesuatu ya?”

Jujur saya sakit hati karena malah dicurigai macam-macam. Padahal saya setia sepenuhnya pada suami. Selain diary, suami juga sering mengecek isi handphone. Sejak saat itu saya mulai jarang menulis diary, rasanya malas saja karena merasa tidak lagi memiliki teritori pribadi. Salahkah jika saya demikian? Apakah ketika pasangan sudah terikat dalam satu lembaga pernikahan serta merta menghilangkan ranah pribadi mereka? –Diandra (27), usia pernikahan 1 tahun-

Demikian sepenggal curhatan seorang perempuan bernama Diandra di salah satu milis. Tak lama kemudian beberapa anggota milis lainnya menanggapi. Ada yang bilang privasi itu tidak penting. Sebaliknya tak sedikit yang menganggap privasi itu sungguh sangat penting meskipun sudah menikah.

Milikku Milikmu?
Ketika pasangan memutuskan menikah, apakah dengan serta merta telah terjadi ‘kepemilikan’ antara istri-suami? Kemudian muncul istilah seperti saling memiliki, sudah menjadi satu, milikku milikmu juga, dan lain-lain.
Banyak hal yang berubah dalam tatanan hidup seseorang ketika memutuskan untuk menikah. Tidak lagi menjadi single tetapi masuk pada episode berikutnya, masing-masing berperan menjadi istri dan suami. Adanya ikatan pernikahan yang sah tentu membuat mereka saling memiliki. Artinya memiliki tanggung jawab sesuai peran yang diembannya. Memiliki bukan berarti keduanya melebur menjadi satu atau tidak ada lagi sekat dan ruang untuk menjadi diri sendiri. Mereka tetap memiliki ruang pribadi dan memiliki ‘rahasia’ yang kemungkinan tidak perlu dibagi kepada yang lain. Hal ini tentunya harus disertai tanggung jawab di mana kita memiliki rambu-rambu untuk tidak menyalahgunakannya,” jelas Widiawati Bayu, SPsi, Psikolog, dari PT. Kasandra Persona Prawacana Jakarta.

Memaknai Privasi
Lalu bagaimana memaknai suatu privasi dalam pernikahan? Widiawati kembali memaparkan bahwa privasi dalam pernikahan pada dasarnya tergantung pada kenyamanan individu dan tidak merasa terpaksa untuk membuka semuanya. “Belum tentu juga kita mengetahui siapa dia seutuhnya akan membuat kita nyaman. Ada bagian tertentu dalam kehidupan yang kita tutup saja dan membiarkannya menjadi bagian dari sejarah hidup dan pembelajaran. Coba diskusikan, apakah komitmen bisa dijalankan atau perlu ditata ulang?” urai Widiawati.
Berkaca dari kasus Diandra di atas, Widiawati berpendapat agar tidak timbul saling curiga lebih baik dibuat sebuah komitmen di mana pasangan saling menghargai untuk tidak membuka ranah pribadi. “Ranah pribadi ini misalnya tidak membuka HP, laptop, dompet, tas, hingga buku harian. Namun komitmen tersebut juga harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak disalahgunakan. Justru kalau salah satu merasa sudah terganggu dan tidak nyaman bila HP dan lain-lain bisa dibuka, hal ini malah menimbulkan pertanyaan. Jadi yang perlu dipegang adalah kejujuran,” papar psikolog lulusan Universitas Katholik Atma Jaya ini.

Menghadapi si Negative Thinking
Nah, bagaimana cara bijak memberi pengertian pada pasangan agar dapat saling menghargai privasi masing-masing?
Memberitahukan dan memberi pengertian pada pasangan memang bukan perkara mudah. Alih-alih menyulut pertengkaran karena bisa mengundang salah paham dan kecurigaan. Apalagi bila salah satu adalah tipe pecemburu dan kerap negative thinking. Tipe seperti ini justru semakin diberi pengertian akan semakin penasaran, mau tahu ada apa ya di dalam HP, di emailnya, di diary-nya. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, kita harus menjaga kalimat, cara berkomunikasi dengan teman, utamanya lawan jenis, jangan sampai komunikasi tersebut malah mengundang interpretasi berbeda,” sarannya. n

Andri Setia Pratama (27), Auditor Ernst&Young, suami dari Risya Hariyani (24), Finance Staff Trakindo Utama. Usia Pernikahan: 2 Bulan
Saling Percaya Meski Sempat Diinterogasi

Menurut saya privasi lumayan penting. Saya pribadi nggak suka dan sampai sekarang nggak pernah ngecek-ngecek HP istri. Pernah satu kali sewaktu keluar kamar dan HP saya geletakkan begitu saja di ranjang, istri ngebacain SMS yang baru masuk ke HP lalu keterusan baca SMS yang lain.
Dia tanya nama seorang perempuan. Agak kaget juga, padahal tadinya saya pikir sudah nggak perlulah ngomongin perempuan yang mantan pacar saya itu, karena sudah jadi bagian dari masa lalu. Tapi karena sudah terlanjur ditanya ya sudah akhirnya saya kasih tahu kalau perempuan itu adalah mantan pacar. Eh, jadi nanya-nanya yang lain, “Umur berapa? Kerjanya apa? Rumahnya di mana? Kenapa nggak jadi nikah sama dia?” He...he...he, jadi diinterogasi deh. Sampai detik ini kami belum ada kesepakatan, yang penting saling percaya saja. n
Liskorida (29), Kabag. Relasi Bisnis RS Royal Taruma, istri dari Rahman Uki Wijaya (31), PT Krakatau Medika. Usia pernikahan: 1,5 tahun
Psssttt, saya pernah baca diary suami!”

Privasi bagi saya adalah sesuatu yang tidak bisa diceritakan kepada orang lain. Privasi tetap penting dan harus tetap ada dengan batasan masing-masing saling menyadari agar jangan sampai membuat pasangan curiga, cemburu atau tersakiti. Seperti halnya kita, bila terlalu sering diinterogasi pasti akan membuat tidak nyaman, merasa bahwa pasangan tidak percaya dengan kita.
Pernah suatu ketika saya menemukan diary suami. Isi diary tersebut adalah cerita tentang pacarnya saat masih kuliah dulu bahkan lengkap dengan foto. Karena takut diketahui suami, saya membacanya di kantor. Banyak ceritanya, ada yang lucu, haru dan bikin cemburu. Tapi saya tidak lantas menginterogasi suami saya, cukup tahu aja deh. Dari situ saya sering mengintip percakapan mereka di wall facebook. Tetapi hal itu justru membuat saya yakin bahwa dia sudah melupakan cerita lama dan menyintai saya sebagai istrinya.

Sumber: Tabloid Mom&Kiddie, Edisi 25 Th IV / 2010

No comments:

Post a Comment