Perkembangan teknologi internet melesat begitu cepat. Siapa tak kenal situs-situs seperti facebook,
twitter, youtube, myspace dan masih
banyak lagi.
Nah, berapa akun yang kamu punya di jejaring sosial tersebut?
Lalu sejauhmana sih kamu merasa 'aman' dan 'tidak aman' dengan kehidupan kamu di dunia maya? Hati-hati... karena ancaman cyberbullying mengintai kita, dan kapan pun kita bisa saja menjadi korban.
Lalu sejauhmana sih kamu merasa 'aman' dan 'tidak aman' dengan kehidupan kamu di dunia maya? Hati-hati... karena ancaman cyberbullying mengintai kita, dan kapan pun kita bisa saja menjadi korban.
Cyberbullying Itu Apa Sih?
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menemui Dr. E.
Kristi Poerwandari untuk membahas tentang kekerasan di dunia maya yang menimpa anak-anak. Psikolog yang juga pendiri dan pengurus Yayasan Pulih ini bicara lebih dalam mengenai cyberbullying. Oh ya, Yayasan Pulih telah banyak membantu menangani intervensi trauma dan penguatan psikososial korban kekerasan.
Selama ini kita sudah sering mengenal bullying, seperti dikatakan Kristi, bullying dapat diartikan sebagai perilaku-perilaku yang menunjukkan
agresi, penundukan, perendahan, atau mencoba menekan pihak lain seperti meledek
berlebihan, bicara agresif, memanggil dengan sebutan-sebutan yang tidak enak,
dan komentar lain yang sifatnya merendahkan.
Dalam cyberbullying,
perilaku-perilaku tersebut berpindah ke dunia maya. Jadi cyberbullying adalah kondisi dimana seseorang atau kelompok yang
secara sengaja melakukan intimidasi, penghinaan, pelecehan, memberikan ancaman,
mempermalukan seorang atau sekelompok anak melalui media elektronik atau media
maya seperti situs jejaring sosial, chat
room, blog, telepon seluler, atau perangkat komunikasi mobile
lainnya.
Kristi menambahkan, terkadang saat seorang anak menulis status di
facebook atau twitter, mereka mungkin tidak menyadari kalau apa yang mereka tulis
itu cyberbullying. Bahkan bisa jadi terlontar
kalimat seperti ini, ‘Ah, ini kan sudah biasa. Cuma gini doang kok!’
“Di situ sangat mudah mereka membuat label-label kepada
temannya yang lain. Si A nyebelin, si
B nerd, si C suka membuat kesal orang
dan lain-lain. Kemudian mereka menganggap hal itu menjadi wajar sebagai
percakapan sehari-hari. Padahal tentu saja itu tidak baik!” tandas Dosen
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Dampak
pada Korban
Umumnya korban cyberbullying
akan menunjukkan sikap kikuk, agak pendiam, dan ketika ditanya ia tidak
bercerita terlalu panjang/detil. “Jarang kita menemukan korban yang sangat
terbuka. Mereka yang cenderung lebih outspoken
cenderung bicara atau menulis lebih frontal.
Bahasa lisan maupun tulisan cenderung sama dalam kehidupan
sehari-hari, mungkin juga cara menulisnya kikuk. Yang demikian lebih cenderung
menjadi korban daripada pelaku cyberbullying.
Bahkan pada kasus-kasus khusus, sebagian dari korban bullying bisa saja kedepannya akan menjadi pelaku kekerasan. Selain
itu korban akan rendah diri, kebingungan, penerimaan diri menjadi rendah dan
merasa inferior dibandingkan orang lain, semakin menarik diri, tidak fokus pada
tugas atau sulit berkonsentrasi. Akibatnya, secara umum prestasinya menurun
drastis,” terang Kristi.
![]() |
Amanda Todd (15) gadis asal Kanada, memposting video YouTube, curhat tentang tindakan bully yang dialaminya. Minggu ini ia tewas di rumahnya, diduga bunuh diri. |
Otoritas Orangtua
Lebih lanjut Kristi mengatakan, orangtua bukan hanya
perlu menjadi teman tapi juga tokoh otoritas bagi anak. Otoritas orangtua
memberikan perasaan nyaman pada anak, karena anak belajar dengan jelas mengenai
apa yang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Jadi, orangtua
perlu mengambil kembali otoritasnya, bukan dalam arti mendisiplin anak secara
kasar, tapi memberi kejelasan mengenai baik buruk.
Hal ini penting karena bisa memberikan pembelajaran dan
pengertian baik buruk pada anak. Kuncinya, disiplin dengan kasih sayang, serta
memahami apa yang terjadi pada anaknya.
“Orangtua pasti terkejut jika mendapati anaknya dibully di dunia maya oleh teman-teman
anaknya. Dan ketika orang sangat kaget, kecenderungannya apa? Ia akan marah!
Orangtua kaget karena mereka sangat mencintai anaknya, cemas, lalu berujung
pada kemarahan. Itu adalah bentuk respon yang paling umum, tapi sekaligus
paling buruk! Pertama, jangan lekas marah. Panik boleh, hanya saja jangan
menampilkannya dalam bentuk marah ke anak. Ketika panik, tenangkan diri dahulu,
ambil napas panjang, dekatilah anak ketika Anda sudah agak tenang. Bertanyalah
secara baik, yang membuat anak merasa nyaman. Jangan sampai anak merasa seperti
disudutkan. Bersikap sangat tenang, tetap menjadi tokoh otoritas yang dapat
memunculkan rasa aman untuk anak. Gali dulu faktanya dari anak secara baik.
Jika melibatkan teman satu sekolah, bicarakan secara baik-baik dengan guru di
sekolah, bagaimana agar dapat duduk bersama dengan orangtua dari pelaku untuk
mendapatkan win-win solution,” saran
Kristi.
Tahukah kamu :
- 1 dari 10 orangtua di dunia mengatakan anak mereka pernah menjadi korban pelecehan dan penghinaan melalui dunia maya.
- Berkisar 60 persen orangtua mengatakan cyberbullying dialami anak-anak melalui situs jejaring sosial seperti facebook, 42 persen melalui ponsel dan 40 persen melalui chat room. Sumber: Survei yang dilakukan Ipsos, perusahan riset global yang didirikan di Perancis akhir tahun 2011 lalu.
- Ipsos menyurvei sebanyak 18.687 warga di 24 negara, termasuk Indonesia. Orangtua di Indonesia termasuk yang memiliki kesadaran paling tinggi terhadap cyberbullying, menyusul orangtua di Australia, Polandia, Swedia, Amerika Serikat dan Jerman.
Ngeri juga! Harus jadi bahan pembahasan yang harus disusun paling depan :)
ReplyDeleteSalam kenal, mampir blogku yu ahh :D
secara tidak sadar terkadang aku juga seperti itu.
ReplyDeletemakasih sob udah di inget'in.
jangan lupa blogwalking juga di raden-angga.mywapblog.com thanks sob :)
untung aku gk pernah kena cyberbullying
ReplyDeleteHellow semuanya... Thanks udah mampir di blog saya.
ReplyDeleteOke siap meluncur blogwalking ke blog agan2 sekalian...
^__^